15 Jan 2013

Tempatnya Orang Stress ??!


Keadaan ekonomi, politik, sosial dan budaya Indonesia kata banyak pengamat sudah amburadul tinggal nunggu ambrolnya. Kerusakan, kemunafikan, kesimpang-siuran, keberantakan, kehilangan pegangan dan sebagainya hampir melanda si seluruh sektor kehidupan.

 

Tidak ada lagi tempat mengadu. Tidak ada lagi pimpinan yang bisa meluruskan keadaan yang super semrawut di Indonesia ini.  Banyak orang yang secara diam-diam menyimpan masalah hingga tanpa sadar telah menggunung dan tinggal menunggu saat waktunya yang tepat untuk meledak.



Gunung Krakatau sudah tidak lagi dihargai.  Gunung Merapi tidak ada artinya dibanding dengan Gunung Stress. Gunung Merapi cuma di Jawa Tengah.  Gunung Stress besarnya se Indonesia.  Tsunami tidak lagi mempan mengusik kesemrawutan keadaan di Indonesia. Meskipun seluruh dewa turun semua dari langit sekali pun, bakal gila sendiri jika berusaha mengotak-atik keadaan di Indonesia.  Tidak akan mampu.  Asal muasalnya stress tidak gampang dipilah.  Kayak benang kusut.  Mana ujung, mana pangkal sudah tidak mungkin dicari selain dengan mencampakkannya.

Kelihatannya kok suram banget?  Benerkah begitu?  Dari luar sepertinya begitu. Namun masih ada lapisan-lapisan masyarakat yang punya pikiran waras dan sadar dengan keadaan. Mereka itu tidak banyak ngomong.  Karena mereka tahu, omongan hanya akan menambah keruh suasana.  Menjadi terpolusi dengan sampah omongan semrawut lainnya.  Air bersih tidak mungkin tetap bersih jika salurannya penuh sampah.  Air bersih harus menemukan salurannya sendiri yang tidak bersampah.



Orang-orang marginal yang masih peka dan sadar itu diam-diam mencari kelompoknya.  Mencari serpihan-serpihan udara bersih yang mungkin masih tersisa. Dan itu tidak gampang. Udara sudah demikian terpolusi oleh uap kebusukan.  Untuk mencium semerbaknya wangi bunga diperlukan kekuatan menajamkan panca indra.  Sambil megap-megap berusaha mencari sumber udara segar.

Stress tidak selamanya jelek. Manusia punya rasa stress adalah salah satu insting untuk mempertahankan hidup.  Dengan stress kita tahu akan adanya bahaya, ada sesuatu yang nggak sehat, nggak bener, melenceng, melawan pola pikir kita dan sebagainya. Tapi stress akut secara berangsur melemahkan daya tubuh kita. Perlu direda kadar stressnya. Jalannya beribu. Selama kita sadar akan adanya stress, masih baik. Kalau tidak maka tumpullah nalurinya.



Banyak yang meredam rasa stress dan melampiaskannya dengan membabi buta.  Turun ke jalan.  Merusak. Membunuh. Memperkosa. Merampok.  Menipu.  Mencari keuntungan. Memanfaatkan kesempatan.  Lari ke supernatural.  Dan lain-lain perbuatan destruktif yang tidak bisa lagi dibedakan karena mata telah gelap. Segala penalaran yang benar telah tertutup oleh kabut emosi karena stress.  Sesuatu yang benar terlihat makin samar. Orang tertatih-tatih mencari pegangan untuk jalan. Menerobos semak belukar untuk menemukan jalan setapak ke pencerahan yang kini tertimbun oleh segala macam jenis sampah kehidupan.  Berteriak pun sudah nggak ada yang mendengar.  Hanya akan membuat telinganya sendiri jadi pekak dan tuli.

Membaca atau melihat berita-berita masalah ekonomi, politik, sosial dan budaya Indonesia di media massa lebih sering membuat orang mengelus dada.  Meski ada satu dua yang bikin seneng.  Tapi banyak yang bikin stress.  Ada saja berita yang mengingkari rasa keadilan, logika, pikiran sehat yang bikin kita tak berdaya tanpa bisa berbuat apa-apa kecuali berusaha menelannya dengan pahit. Banyak orang yang kini mulai apatis dengan keadaan.  Tidak peduli dengan semua itu. Yang penting cari makan, mikir keluarga dan mikir diri sendiri.  Selama keluarga dan diri sendiri tidak kekurangan, persetanlah dengan masalah-masalah di luar sana.  Terserah kalian! Mau dibikin mawut ya terserah. Mau dibikin hancur ya silahkan.  Mau dibikin baik ya selamat mencoba saja. Semoga berhasil.



Namun banyak juga yang punya keinginan untuk merubah keadaan sebisa dan semampunya.  Mereka pingin sesuatu yang lebih baik meskipun keadaan yang sudah semrawut di luar batas kewajaran. Masih ada orang yang melihat segala sesuatu secara positif dan optimis dengan caranya sendiri. Mereka tak hendak mendiamkan kesemrawutan ini tanpa akhir. Mereka harus menemukan cara bagaimana untuk mengakhiri semua keberantakan ini.  Entah itu bagaimana caranya, pasti ada jalan keluarnya.

Menemukan sejengkal tempat bersih di antara tumpukan sampah adalah bagai pekerjaan yang mustahil. Bagai mencari jarum di tumpukan jerami. Bagai muara oase di padang pasir.  Mencari secanting air untuk membasuh muka susah luar biasa. Mencari sekeping cermin untuk mengaca juga sudah langka.
 


Kita semua perlu acuan nilai yang kita setujui bersama sebagai pedoman bertingkah laku, prinsip hidup, cara bersosial agar bisa memperoleh ketenangan dan keselarasan fungsi sosial.  Namun nilai acuan itu kini ikut silang sengkarut dan terpolusi.  Masyarakat kehilangan pedoman dan bingung mencari-cari untuk menyingkronkan jatidirinya. Tradisi-tradisi yang dulu berfungsi menyelaraskan nilai-nilai bersama pelan-pelan menguap entah ke mana.

Dalam kebingungan mencari konformasi nilai-nilai sosial bersama yang tidak juga ditemukan itu, mereka lari ke kelompok-kelompok yang dikenalnya dengan harapan mereka memperoleh konformasi nilai-nilai kebersamaan sosial itu sehingga diperoleh rasa nyaman.


 

Kelompok itu bisa macam-macam.  Bisa saja kelompok yang bersifat profesi, kedaerahan, ideologi, opini, kelas sosial, rasial, agama dan lain-lain. Namun dalam kelompok-kelompok inipun sepertinya nilai-nilai kebersamaan ternyata bersifat profan, kering moralitas, labil, mengambang, tidak ada kedalaman dan sering goyah karena unsur kepentingan. Dan kadang berseberangan dengan nilai-nilai umum bahkan terkesan eksklusive. Korupsi tidak dirasa salah jika kelompoknya juga melakukan hal sama, ini salah satu contoh saja.

Social Network...
Twitter, Facebook, Snaptu, Yahoo Mesenger dan sebagainya..
Banyak orang merasa dirinya telah termarginalisasi, teranomali, teralienasi dari kebersamaan nilai sosial. Jika mereka tidak menemukan kenyamanan dengan kelompok sosialnya, jalan berikutnya yang paling gampang adalah lari ke internet.  Lewat internet seolah bisa ditemukan sebuah acuan nilai kebersamaan sosial.  Internet bisa berfungsi semacam media untuk melakukan katarsis.  Pencucian dan refleksi kembali atas nilai-nilai sosial yang diakui secara bersama meskipun sifatnya umum, beragam dan instant.




Sumber: (http://media.kompasiana.com/mainstream-media/2013/01/15/kompasiana-tempatnya-orang-stress-524545.html?utm_source=twitterfeed&utm_medium=twitter)

Tidak ada komentar:

 
Sumber : http://riskimaulana.blogspot.com/2011/12/tips-cara-supaya-artikel-blog-tidak.html#ixzz2E8tlcOjK