Keadaan ekonomi, politik, sosial dan budaya Indonesia kata
banyak pengamat sudah amburadul tinggal nunggu ambrolnya. Kerusakan,
kemunafikan, kesimpang-siuran, keberantakan, kehilangan pegangan dan
sebagainya hampir melanda si seluruh sektor kehidupan.
Tidak ada lagi
tempat mengadu. Tidak ada lagi pimpinan yang bisa meluruskan keadaan
yang super semrawut di Indonesia ini. Banyak orang yang secara
diam-diam menyimpan masalah hingga tanpa sadar telah menggunung dan
tinggal menunggu saat waktunya yang tepat untuk meledak.
Gunung Krakatau sudah tidak lagi dihargai. Gunung Merapi tidak ada
artinya dibanding dengan Gunung Stress. Gunung Merapi cuma di Jawa
Tengah. Gunung Stress besarnya se Indonesia. Tsunami tidak lagi mempan
mengusik kesemrawutan keadaan di Indonesia. Meskipun seluruh dewa turun
semua dari langit sekali pun, bakal gila sendiri jika berusaha
mengotak-atik keadaan di Indonesia. Tidak akan mampu. Asal muasalnya
stress tidak gampang dipilah. Kayak benang kusut. Mana ujung, mana
pangkal sudah tidak mungkin dicari selain dengan mencampakkannya.
Kelihatannya kok suram banget? Benerkah begitu? Dari luar sepertinya
begitu. Namun masih ada lapisan-lapisan masyarakat yang punya pikiran
waras dan sadar dengan keadaan. Mereka itu tidak banyak ngomong. Karena
mereka tahu, omongan hanya akan menambah keruh suasana. Menjadi
terpolusi dengan sampah omongan semrawut lainnya. Air bersih tidak
mungkin tetap bersih jika salurannya penuh sampah. Air bersih harus
menemukan salurannya sendiri yang tidak bersampah.
Orang-orang marginal yang masih peka dan sadar itu diam-diam mencari
kelompoknya. Mencari serpihan-serpihan udara bersih yang mungkin masih
tersisa. Dan itu tidak gampang. Udara sudah demikian terpolusi oleh uap
kebusukan. Untuk mencium semerbaknya wangi bunga diperlukan kekuatan
menajamkan panca indra. Sambil megap-megap berusaha mencari sumber
udara segar.
Stress tidak selamanya jelek. Manusia punya rasa stress adalah salah
satu insting untuk mempertahankan hidup. Dengan stress kita tahu akan
adanya bahaya, ada sesuatu yang nggak sehat, nggak bener, melenceng,
melawan pola pikir kita dan sebagainya. Tapi stress akut secara
berangsur melemahkan daya tubuh kita. Perlu direda kadar stressnya.
Jalannya beribu. Selama kita sadar akan adanya stress, masih baik. Kalau
tidak maka tumpullah nalurinya.
Banyak yang meredam rasa stress dan melampiaskannya dengan membabi
buta. Turun ke jalan. Merusak. Membunuh. Memperkosa. Merampok.
Menipu. Mencari keuntungan. Memanfaatkan kesempatan. Lari ke
supernatural. Dan lain-lain perbuatan destruktif yang tidak bisa lagi
dibedakan karena mata telah gelap. Segala penalaran yang benar telah
tertutup oleh kabut emosi karena stress. Sesuatu yang benar terlihat
makin samar. Orang tertatih-tatih mencari pegangan untuk jalan.
Menerobos semak belukar untuk menemukan jalan setapak ke pencerahan yang
kini tertimbun oleh segala macam jenis sampah kehidupan. Berteriak pun
sudah nggak ada yang mendengar. Hanya akan membuat telinganya sendiri
jadi pekak dan tuli.
Membaca atau melihat berita-berita masalah ekonomi, politik, sosial dan
budaya Indonesia di media massa lebih sering membuat orang mengelus
dada. Meski ada satu dua yang bikin seneng. Tapi banyak yang bikin
stress. Ada saja berita yang mengingkari rasa keadilan, logika, pikiran
sehat yang bikin kita tak berdaya tanpa bisa berbuat apa-apa kecuali
berusaha menelannya dengan pahit. Banyak orang yang kini mulai apatis
dengan keadaan. Tidak peduli dengan semua itu. Yang penting cari makan,
mikir keluarga dan mikir diri sendiri. Selama keluarga dan diri
sendiri tidak kekurangan, persetanlah dengan masalah-masalah di luar
sana. Terserah kalian! Mau dibikin mawut ya terserah. Mau dibikin
hancur ya silahkan. Mau dibikin baik ya selamat mencoba saja. Semoga
berhasil.
Namun banyak juga yang punya keinginan untuk merubah keadaan sebisa dan
semampunya. Mereka pingin sesuatu yang lebih baik meskipun keadaan yang
sudah semrawut di luar batas kewajaran. Masih ada orang yang melihat
segala sesuatu secara positif dan optimis dengan caranya sendiri. Mereka
tak hendak mendiamkan kesemrawutan ini tanpa akhir. Mereka harus
menemukan cara bagaimana untuk mengakhiri semua keberantakan ini. Entah
itu bagaimana caranya, pasti ada jalan keluarnya.
Menemukan sejengkal tempat bersih di antara tumpukan sampah adalah bagai
pekerjaan yang mustahil. Bagai mencari jarum di tumpukan jerami. Bagai
muara oase di padang pasir. Mencari secanting air untuk membasuh muka
susah luar biasa. Mencari sekeping cermin untuk mengaca juga sudah
langka.
Kita semua perlu acuan nilai yang kita setujui bersama sebagai pedoman
bertingkah laku, prinsip hidup, cara bersosial agar bisa memperoleh
ketenangan dan keselarasan fungsi sosial. Namun nilai acuan itu kini
ikut silang sengkarut dan terpolusi. Masyarakat kehilangan pedoman dan
bingung mencari-cari untuk menyingkronkan jatidirinya. Tradisi-tradisi
yang dulu berfungsi menyelaraskan nilai-nilai bersama pelan-pelan
menguap entah ke mana.
Dalam kebingungan mencari konformasi nilai-nilai sosial bersama yang
tidak juga ditemukan itu, mereka lari ke kelompok-kelompok yang
dikenalnya dengan harapan mereka memperoleh konformasi nilai-nilai
kebersamaan sosial itu sehingga diperoleh rasa nyaman.
Kelompok itu bisa macam-macam. Bisa saja kelompok yang bersifat
profesi, kedaerahan, ideologi, opini, kelas sosial, rasial, agama dan
lain-lain. Namun dalam kelompok-kelompok inipun sepertinya nilai-nilai
kebersamaan ternyata bersifat profan, kering moralitas, labil,
mengambang, tidak ada kedalaman dan sering goyah karena unsur
kepentingan. Dan kadang berseberangan dengan nilai-nilai umum bahkan
terkesan eksklusive. Korupsi tidak dirasa salah jika kelompoknya juga
melakukan hal sama, ini salah satu contoh saja.
Social Network...
Twitter, Facebook, Snaptu, Yahoo Mesenger dan sebagainya..
Banyak orang merasa dirinya telah termarginalisasi, teranomali,
teralienasi dari kebersamaan nilai sosial. Jika mereka tidak menemukan
kenyamanan dengan kelompok sosialnya, jalan berikutnya yang paling
gampang adalah lari ke internet. Lewat internet seolah bisa ditemukan
sebuah acuan nilai kebersamaan sosial. Internet bisa berfungsi semacam
media untuk melakukan katarsis. Pencucian dan refleksi kembali atas
nilai-nilai sosial yang diakui secara bersama meskipun sifatnya umum,
beragam dan instant.
Sumber: (http://media.kompasiana.com/mainstream-media/2013/01/15/kompasiana-tempatnya-orang-stress-524545.html?utm_source=twitterfeed&utm_medium=twitter)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar