13 Jun 2013

Pilkades dan Demokrasi




BELUM lama ini, beberapa desa di Kabupaten tempat tinggal saya telah melaksanakan pesta akbar dalam pentas demokrasi.
Untuk kelas kabupaten yang menghasilkan bupati dan wakil bupati, tingkat provinsi menghasilkan gubernur. Sedangkan untuk tingkat terendah yakni desa juga dilaksanakan pilkades sebagai sasaran menuju estafet kepemimpinan.

Tongkat estafet harus terus berlanjut seperti efek domino. Lagi-lagi sebagai lakonnya adalah masyarakat di wilayah itu. Namun, lebih terperinci dan mendetil yaitu masyarakat desa yang menjadi bagian masyarakat hukum di wilayah terendah.

Apa yang menjadi menarik dari acara pemilihan pimpinan tersebut, bukan saja melibatkan seluruh elemen masyarakat dalam penyelenggaraannya, tapi juga menjadi sokongan para pelaku politik praktis yang mempertontonkan kolosal dalam kemasan manis ala demokrasi yang dilakukan oleh masing-masing pelaku. Karena yang menjadi tujuan ini adalah kemenangan dengan meraup suara terbanyak.

Hajat untuk menentukan kepala desa atau mengajukan diri menjadi kepala desa memang tidak seperti menentukan bupati maupun gubernur, naungannya berbeda, payung hukumnya pun berbeda.

Siapapun boleh untuk menjadi bakal calon kepala desa, masyarakat boleh saja maju untuk menjadi kandidat.
Jika boleh berandai seorang petani, tukang ojek, cendekiawan, akademisi, pegawai negeri maupun swasta, bahkan TNI/POLRI atau orang yang dengan latar belakang pendidikan dan wawasan rendah pun boleh menyalonkan dirinya untuk dipilih menjadi kepala desa.

Namun jika Anda orang miskin atau tidak memunyai modal yang cukup, jangan sekali-kali menyalonkan diri menjadi kepala desa. 
Mengapa demikian? karena proses politik untuk menuju ke arah sana sangatlah mahal.

Money politics pada proses pemilihan yang terkandung dalam konsep demokrasi adalah perbuatan naif. Namun masalah ini sudah menjadi hal yang wajar dan seakan ada kata sepakat money politics telah menjadi perbuatan legal, bahkan diatur dalam bab tersendiri yang terkandung pada setiap peraturan pemilihan pemimpin dari tingkat desa hingga presiden.

Di sisi lain, biaya politik adalah suatu keharusan pada masa kekinian. Entah darimana masyarakat ini belajar, pada masa penjajahan Belanda pun untuk menjadi seorang demang atau kepala di suatu daerah, tidak ada pelajaran atau contoh yang jelas. Pada era Netherland Indies kala itu, politik uang namanya cost politics.

Bagaimana tidak, cost politics ini atau sesuai pemahaman masyarakat disebut ongkos politik menjadi ejaan yang fasih ketika sang calon pemimpin berkeliling untuk menemui calon pemilihnya. Mereka selalu menanyakan pada calon terkait buah tangan yang ujung-ujungnya duit.

Ironisnya, masalah ini sudah pada tahap kewajaran dalam masing-masing pemahaman masyarakat desa. Baik dari tingkat pemikiran dengan wawasan, maupun sampai tingkat pemikiran mapan seperti para sarjana yang ada di desa yang seharusnya dan sudah selayaknya menjadi agen perubahan dari budaya yang dianggap wajar ini.

Tetapi politik uang seakan sudah menjadi budaya yang tidak terpisahkan dalam proses demokrasi. Fungsi pengawasan yang diharapkan mampu membendung masalah jual beli suara ternyata tidak mampu mencegah masalah ini. Permasalahan pun terus bermunculan, satu sisi, para calon ingin ikut memberantas praktik politik uang, di sisi lain, mereka dituntut untuk dapat memberikan uang saat menemui konsituen.


Jika hal ini terus dibiarkan, maka tak heran jika pemimpin masa depan adalah mereka yang memiliki modal ‘materi’ kuat, visi misi, dan kemampuan calon pemimpin tidak cukup menjadikan orang potensial menjadi pemimpin, meski hanya di tingkat pemerintahan desa.

 


Semoga para warga bisa memilih sosok-sosok pimpinan dengan arif dan bijaksana.. Aamiin.

Semoga bermanfaat.. heee

Tidak ada komentar:

 
Sumber : http://riskimaulana.blogspot.com/2011/12/tips-cara-supaya-artikel-blog-tidak.html#ixzz2E8tlcOjK