
Dalil :
Nasihat ibu kepada kami anak-anaknya salah satunya adalah, makanan yang kami makan harus habis. Kalo perlu sampai ke butir-butir terkecil, sehingga piringnya jadi licin, bersih, seakan tak perlu dicuci untuk dibersihkan.
Hal ini lebih ditekankan bila kondisinya kami yang mengambil sendiri makanan itu atau pesan sendiri. Yang artinya tidak ada pemaksaan dari orang lain untuk memilih dan menakar makanan yang kami ambil. Hukumnya menjadi "kudu" dihabiskan. Jadi kalau kami jajan di warung dan tidak ingin piring kami tampak menggunung seperti tumpeng mungil, sejak awal kami harus pesan pada si penjual untuk tidak menambahkan nasi terlalu banyak. Begitu juga dengan sambal, gula (untuk teh manis), asam (untuk jeruk) dan sebagainya. Sehingga semua itu tidak menjadi alasan bagi kami untuk tidak menghabiskan makanan yang kami pesan. Alasan beliau simpel, "Masih banyak orang yang nggak bisa makan." Jadi begitulah cara kami mensyukuri nikmat. Terlebih kami pernah mendengar dari tauziah-tauziah yang mengajarkan bahwa "Di setiap butir nasi yang kaumakan itulah terdapat rezekimu." Subhanallah! Setelah tahu begitu, masa kami mau menyia-nyiakan rezeki Allah dengan tidak menandaskan semua makanan itu?
Kejadian:
Akhir Desember yang lalu ada dua orang pensiunan kantor datang. Yang satu seorang Bapak dan lainnya seorang Ibu. Meski beliau berdua datang tidak berbarengan, tapi reaksinya terhadap saya sama. Tanpa tedeng aling-aling mereka langsung nembak, "Wah! Sudah bathi (untung), ya?" Merekapun melakukan gerakan yang sama. Memandangi perut saya!
Saya cuma bisa nyengir menanggapi pertanyaan mereka.

Rencana:
Karena kejadian itu, sayapun langsung mafhum. Berarti saya gemuk!!
Maka saya mulai menyusun rencana untuk mulai mengatur pola makan. Berusaha mengurangi nasi dan gula. Cita-citanya tidak terlalu muluk. Asalkan tidak tampak terlalu buncit, cukuplah. Karena saya tahu, mengurangi berat badan bukan hal yang mudah untuk saya.
Kasus 1:
Pagi itu saya dibuatkan susu oleh Ibu. Non fat tentunya. Saat saya minum, aduhai manisnya!! Usut punya usut ternyata awalnya Ibu membuatkan susu tanpa gula. Lalu beliau berinisiatif untuk menambahkan gula. Setelah menambahkan gula beliau berpikir, "..Apa enak, ya? Susu kok putih..", maka dengan antusias beliau menambahkan satu sachet kopi instan ke dalam susu saya!!! Pantaslah susu saya demikian manis. Sehingga pagi itu saya harus menghabiskan dua gelas susu. Karena susu yang manis aduhai tadi saya encerkan dan hasilnya menjadi dua gelas susu dengan rasa manis yang pas untuk saya.
Kasus 2.
Suatu saat karena Ibu ada pengajian dan karena tak sempat memasak, maka Ibu menyuruh saya untuk membeli nasi beserta lauknya di warung. Irit dan praktis.
Maka pergilah saya ke warung. Nasi campur jadi pilihan saya. Mengingat dalil yang sudah ditetapkan ibu, plus niat rencana yang ingin saya lakukan maka saya minta pada si penjual untuk mengambilkan nasi sedikit saja buat saya. "Satu entong (sendok nasi)", begitu kata saya. Tapi apa yang terjadi saudara-saudaraku sekalian...dengan tegas si penjual berkata, "Makan kok cuma segini. Gak niyat!!", sambil dengan semangat mengambilkan seentong nasi lagi ditambah sejumput. Dooohhh...

Kasus 3.
Jelang Natal dan tahun baru, Surabaya sering terasa dingin. Mungkin karena mendung sehingga suasana cenderung kelu dan muram. Keadaan seperti itu cocoknya dibawa bergelung di bawah selimut. Hangat.
Karena kondisi yang seperti ini saya pikir teh panas tentulah akan sedikit mengusir dingin di badan, maka saya minta asisten kerumahtanggaan gedung utama lantai dua tempat saya berkantor untuk membuatkan teh tawar panas dalam cangkir.
Beberapa saat kemudian dia membawa teh panas saya dan yang keluar adalah gelas jumbo kira-kira isi 600 ml yang berisi...teh manis, yang manisnya setara dengan 4-5 sendok makan gula!!
Haduuuhh kalau sudah begini ini yang lebay siapa ya?

Tidak ada komentar:
Posting Komentar