Iseng.. Beberapa
anak kecil yang baru duduk di kelas satu SD "SEMPAT" saya tanya kepada mereka setelah selesai ujian semester/catur wulannya..
Ia
memberitahu dengan gembira kalau dia dapat ranking 1 di sekolah. Dan dia
meminta saya melihat rapornya. Tentu saya harus pulang, melihat keponakakku karena ini rapor
pertamanya(di saat itu??!). Saya harus memberinya semangat agar dia termotivasi untuk
tetap rajin belajar. Sayapun membawakannya sebuah jajan yang saya
beli seharga Rp.20 ribu sebagai hadiah baginya.
Sesampai
di rumah, ponakan saya rupanya sedang tidur. Saya hanya bisa melihat
rapornya, bangga menyaksikan nilai-nilainya yang bagus. Besoknya saya
pulang lagi karena kemarin belum bertemu langsung dengannya. Saya
sengaja pulang siang-siang agar bisa berbicara banyak dengannya. Di
tempat saya siswa-siswa baru menerima rapor saat itu, dan sekarang
mereka sedang libur. Ternyata ponakan saya sedang belajar. Saya tanya
“kan libur Dik, kok Kamu belajar?” jawabnya, “kata ibu/bapak guru selama
liburan harus tetap belajar Om. Biar ngga lupa sama apa yang Aku
pelajari kemarin.” Sambil terus asyik menulis di bukunya.
Saya
hanya angguk-angguk.
Lalu saya bertanya tentang teman-temannya di
sekolah. Siapa saja yang rajin, yang nakal, yang pemalas?. Dia
menjawabnya sambil terus saja sibuk dengan pelajarannya.
Lalu saya
tanyakan tentang beberapa anak tetangga yang juga sekelas dengannya. Dan
jawabannya membuat saya kaget, begini jawabnya.
“ooh dia? dia bodoh, Kalau di tanya dia diam, Nangis malah Om, Aku(keponakanku) sih kasihan, cuma ibu/bapak guru saja tidak peduli lagi dengannya.”
Saya
termenung mendengar jawabannya, “ibu/bapak gurunya saja tidak peduli?” lalu siapa
yang peduli dengannya? pikir saya dalam hati. Anak tetangga itu,
seharusnya sudah duduk di kelas tiga. Tetapi dia selalu tinggal kelas,
dan sekarang masih di kelas satu sekelas dengan Keponakakku. Sebagai orang yang sudah dewasa
saya sedih memikirkannya, terbayang kalau dia adalah anak saya.
Bagaimana perasaan saya?.
Saya
tanya lagi sama keponakanku “bagaimana guru memperlakukannya?”. Jawab keponakanku
“kalau dia tidak mengerjakan tugas atau melakukan apapun di kelas guru
hanya membiarkannya saja.” Apa tidak menghukumnya? Atau memintanya
dengan baik untuk mau melakukan? Atau mungkin memarahinya? Tanya saya
lagi. Keponakanku menggeleng, “tidak Om…guru hanya membiarkan. Ibu/Bapak guru hanya suka anak-anak pintar.”
Dalam
hati saya berpikir lagi, “ibu/bapak guru hanya suka anak-anak pintar” tentu
saja, karena anak-anak pintar itu tidak merepotkan. Tidak membuat guru guru
susah dan lebih enak mengajarnya. Target mengajar tercapai dengan cepat.
Nah, kalau ada kasus seperti ini?. Ternyata ada anak yang kebetulan tidak pintar?. Apakah harus membiarkan, tidak peduli, di otak saya berarti dia di kelas sama saja anak bawang, tidak masuk hitungan.
Apakah Membiarkan
dalam artian tidak peduli dan tidak mau tahu?. Artinya dia akan terus
bodoh selamanya?, dan tahun besok tidak akan naik kelas lagi? pikir
saya. Hixs sedih sekali mendengarnya, saya tidak tahu apa pihak sekolah
pernah berusaha melakukan pendekatan padanya, memanggil orang tuanya
atau usaha lain agar ada perubahan pada anak itu.
Anak-anak
punya hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan, mereka dimasukkan ke
sekolah oleh orang tuanya dengan harapan bisa menjadi anak pintar yang
memiliki ilmu. Mereka juga berhak mendapatkan perlakuan sama dari guru
mereka. Sekali lagi saya bertanya, kali ini kepada kakak saya, “kenapa
ada ibu/bapak gurunya begitu? membeda-bedakan siswanya?”. Saudara saya mengatakan, “guru
tak bisa berbuat banyak, karena orang tuanya juga tidak peduli.”
Lagi-lagi
saya hanya bisa diam, karena ternyata semua memang berawal dari dalam
keluarga. Jika kita peduli dengan anak-anak, saya yakin tidak ada anak
yang “bodoh”
karena setiap anak memiliki keunikan dan kelebihan masing-masing.
Sekarang memang orang
tua harus jeli melihat potensi si anak. Sebagai orang yang lebih tua kita yang
lebih tahu bagaimana adik adik /anak kita. Jika memeng melihat ada potensi kurang
pada anak kita, mungkin kita harus kreatif mencarikan solusi untuk
membantunya. Bukan malah membiarkannya, tak peduli padanya, dan
membiarkannya terus menjadi anak yang “bodoh’.
Sebagai orang yang lebih tua juga
kita tak seharusnya menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak kepada
guru-gurunya di sekolah. Mestinya orang tua juga proaktif bertanya
perkembangan anak pada gurunya, agar kita bisa membantu sang anak dalam
meningkatkan prestasinya.
Amat
disayangkan jika sang anak bertahun-tahun harus duduk di kelas yang
sama tanpa mendapatkan apa-apa. Biasanya kalau sudah begini, lalu orang
tua mereka akan memberhentikan anak mereka dari sekolah. Maka jadilah ia
anak yang putus sekolah, pertumbuhan fisiknya terus saja subur
sementara dia tak bisa melakukan apa-apa bahkan tulis baca. Ia kan
menjadi anak yang buta huruf di zama semodern ini.
Siapa yang akan kita salahkan jika hal itu terjadi?. Apakah harus minta tanggung jawab kepada gurunya yang tidak peduli
pada kebodohannya? Atau kesalahan kita orang tua yang sama sekali tidak
peduli dengan pendidikannya?.
Padahal
orang tua adalah guru utama bagi anak anaknya, kita juga bisa ikut
aktif bagi
anak-anak kita untuk memberikan motifasi belajar(jangan malah mengajari
mereka menjadi anak berandalan)
*&^%?<#@!????.…!!
#merenung semoga saya dan anda nantinya tidak jadi orang tua yang acuh !!!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar