14 Jan 2013

Benarkah Guru hanya Peduli pada Anak-Anak Pintar?

Iseng.. Beberapa anak kecil yang baru duduk di kelas satu SD "SEMPAT" saya tanya kepada mereka setelah selesai ujian semester/catur wulannya..

 


Ia memberitahu dengan gembira kalau dia dapat ranking 1 di sekolah. Dan dia meminta saya melihat rapornya. Tentu saya harus pulang, melihat keponakakku karena ini rapor pertamanya(di saat itu??!). Saya harus memberinya semangat agar dia termotivasi untuk tetap rajin belajar. Sayapun membawakannya sebuah jajan yang saya beli seharga Rp.20 ribu sebagai hadiah baginya.

Sesampai di rumah, ponakan saya rupanya sedang tidur. Saya hanya bisa melihat rapornya, bangga menyaksikan nilai-nilainya yang bagus. Besoknya saya pulang lagi karena kemarin belum bertemu langsung dengannya. Saya sengaja pulang siang-siang agar bisa berbicara banyak dengannya. Di tempat saya siswa-siswa baru menerima rapor saat itu, dan sekarang mereka sedang libur. Ternyata ponakan saya sedang belajar. Saya tanya “kan libur Dik, kok Kamu belajar?” jawabnya, “kata ibu/bapak guru selama liburan harus tetap belajar Om. Biar ngga lupa sama apa yang Aku pelajari kemarin.” Sambil terus asyik menulis di bukunya. 

 

Saya hanya angguk-angguk. 
Lalu saya bertanya tentang teman-temannya di sekolah. Siapa saja yang rajin, yang nakal, yang pemalas?. Dia menjawabnya sambil terus saja sibuk dengan pelajarannya. 
Lalu saya tanyakan tentang beberapa anak tetangga yang juga sekelas dengannya. Dan jawabannya membuat saya kaget, begini jawabnya.
“ooh dia? dia bodoh, Kalau di tanya dia diam, Nangis malah Om, Aku(keponakanku) sih kasihan, cuma ibu/bapak guru saja tidak peduli lagi dengannya.”


Saya termenung mendengar jawabannya, “ibu/bapak gurunya saja tidak peduli?” lalu siapa yang peduli dengannya? pikir saya dalam hati. Anak tetangga itu, seharusnya sudah duduk di kelas tiga. Tetapi dia selalu tinggal kelas, dan sekarang masih di kelas satu sekelas dengan Keponakakku. Sebagai orang yang sudah dewasa saya sedih memikirkannya, terbayang kalau dia adalah anak saya. Bagaimana perasaan saya?.

 

Saya tanya lagi sama keponakanku “bagaimana guru memperlakukannya?”. Jawab keponakanku “kalau dia tidak mengerjakan tugas atau melakukan apapun di kelas guru hanya membiarkannya saja.” Apa tidak menghukumnya? Atau memintanya dengan baik untuk mau melakukan? Atau mungkin memarahinya? Tanya saya lagi. Keponakanku menggeleng, “tidak Om…guru hanya membiarkan. Ibu/Bapak guru hanya suka anak-anak pintar.”

Dalam hati saya berpikir lagi, “ibu/bapak guru hanya suka anak-anak pintar” tentu saja, karena anak-anak pintar itu tidak merepotkan. Tidak membuat guru guru susah dan lebih enak mengajarnya. Target mengajar tercapai dengan cepat. 

 Nah, kalau ada kasus seperti ini?. Ternyata ada anak yang kebetulan tidak pintar?. Apakah harus membiarkan, tidak peduli, di otak saya berarti dia di kelas sama saja anak bawang, tidak masuk hitungan.
Apakah Membiarkan dalam artian tidak peduli dan tidak mau tahu?. Artinya dia akan terus bodoh selamanya?, dan tahun besok tidak akan naik kelas lagi? pikir saya. Hixs sedih sekali mendengarnya, saya tidak tahu apa pihak sekolah pernah berusaha melakukan pendekatan padanya, memanggil orang tuanya atau usaha lain agar ada perubahan pada anak itu. 

 

Anak-anak punya hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan, mereka dimasukkan ke sekolah oleh orang tuanya dengan harapan bisa menjadi anak pintar yang memiliki ilmu. Mereka juga berhak mendapatkan perlakuan sama dari guru mereka. Sekali lagi saya bertanya, kali ini kepada kakak saya, “kenapa ada ibu/bapak gurunya begitu? membeda-bedakan siswanya?”. Saudara saya mengatakan, “guru tak bisa berbuat banyak, karena orang tuanya juga tidak peduli.”

Lagi-lagi saya hanya bisa diam, karena ternyata semua memang berawal dari dalam keluarga. Jika kita peduli dengan anak-anak, saya yakin tidak ada anak yang “bodoh” karena setiap anak memiliki keunikan dan kelebihan masing-masing. 

Sekarang memang orang tua harus jeli melihat potensi si anak. Sebagai orang yang lebih tua kita yang lebih tahu bagaimana adik adik /anak kita. Jika memeng melihat ada potensi kurang pada anak kita, mungkin kita harus kreatif mencarikan solusi untuk membantunya. Bukan malah membiarkannya, tak peduli padanya, dan membiarkannya terus menjadi anak yang “bodoh’. 
Sebagai orang yang lebih tua juga kita tak seharusnya menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak kepada guru-gurunya di sekolah. Mestinya orang tua juga proaktif bertanya perkembangan anak pada gurunya, agar kita bisa membantu sang anak dalam meningkatkan prestasinya.

Amat disayangkan jika sang anak bertahun-tahun harus duduk di kelas yang sama tanpa mendapatkan apa-apa. Biasanya kalau sudah begini, lalu orang tua mereka akan memberhentikan anak mereka dari sekolah. Maka jadilah ia anak yang putus sekolah, pertumbuhan fisiknya terus saja subur sementara dia tak bisa melakukan apa-apa bahkan tulis baca. Ia kan menjadi anak yang buta huruf di zama semodern ini.

 

 
Siapa yang akan kita salahkan jika hal itu terjadi?. Apakah harus minta tanggung jawab kepada gurunya yang tidak peduli pada kebodohannya? Atau kesalahan kita orang tua yang sama sekali tidak peduli dengan pendidikannya?.

 

 Padahal orang tua adalah guru utama bagi anak anaknya, kita juga bisa ikut aktif bagi anak-anak kita untuk memberikan motifasi belajar(jangan malah mengajari mereka menjadi anak berandalan) 

*&^%?<#@!????.…!! 
 #merenung semoga saya dan anda nantinya tidak jadi orang tua yang acuh !!!.

Tidak ada komentar:

 
Sumber : http://riskimaulana.blogspot.com/2011/12/tips-cara-supaya-artikel-blog-tidak.html#ixzz2E8tlcOjK