Dalam
perjalanan hidup di dunia, tentunya seorang muslim tidak akan lepas
dari kesalahan dan dosa sebagai akibat hawa nafsu yang diperturutkan.
Selain itu, buah pemikiran yang dihasilkan manusia, yang
dibangga-banggakan oleh pemiliknya, tidak jarang yang menyelisihi
kebenaran,
tidak sedikit yang bertentangan dengan ajaran yang ditetapkan
oleh Allah dan rasul-Nya. Oleh karenanya,
seiring waktu yang diberikan Allah kepada manusia di dunia, sepatutnya
dipergunakan untuk mengintrospeksi segala perilaku dan pemikiran yang
dia miliki, sehingga mendorongnya untuk mengoreksi diri ke arah yang
lebih baik.
Introspeksi, Pintu untuk Mengoreksi Diri
Di dalam kitab Shahih-nya, imam Bukhari membuka salah satu bab kitab ash-Shaum dengan perkataan Abu az-Zinad,
إن السنن ووجوه الحق لتأتي كثيرًا على خلاف الرأي
“Sesungguhnya mayoritas sunnah dan kebenaran bertentangan dengan pendapat pribadi” [HR. Bukhari].
Memang benar apa yang dikatakan beliau, betapa seringnya seseorang
enggan menerima kebenaran karena bertentangan dengan pendapat dan
tendensi pribadi. Bukankah dakwah tauhid yang ditawarkan nabi kepada
kaum musyrikin, ditolak karena bertolak belakang dengan keinginan
pribadi mereka, terutama tokoh-tokoh terpandang di kalangan kaum
musyrikin?
Tidak jarang seseorang tidak mampu selamat dari hawa nafsu dan terbebas
dari kekeliruan pendapat karena bersikukuh meyakini sesuatu dan tidak
mau menerima koreksi. Hal ini tentu berbeda dengan kasus seorang
mujtahid yang keliru dalam berijtihad. Ketika syari’at menerangkan bahwa
seorang mujtahid yang keliru memperoleh pahala atas ijtihad yang
dilakukannya, hal ini bukan berarti mendukung dirinya untuk menutup mata
dari kesalahan ijtihad dan bersikukuh memegang pendapat jika telah
nyata akan kekeliruannya. Betapa banyak ahli fikih yang berfatwa
kemudian rujuk setelah meneliti ulang fatwanya dan melihat bahwa
kebenaran berada pada pendapat pihak lain.
Kita bisa mengambil pelajaran dari penolakan para malaikat terhadap
kalangan yang hendak datang ke al-Haudh (telaga rasulullah di hari
kiamat). Mereka tidak bisa mendatangi al-Haudh dikarenakan dahulu di
dunia, mereka termasuk kalangan yang bersikukuh untuk berpegang pada
kekeliruan, kesalahan dan kesesatan, padahal kebenaran telah jelas di
hadapan mereka. Hal ini ditunjukkan dalam hadits, ketika para malaikat
memberikan alasan kepada nabi,
إِنَّهُمْ قَدْ بَدَّلُوا بَعْدَكَ، وَلَمْ يَزَالُوا يَرْجِعُونَ عَلَى أَعْقَابِهِمْ، فَأَقُولُ: أَلَا سُحْقًا، سُحْقًا
“Mereka telah mengganti-ganti (ajaranmu) sepeninggalmu” maka kataku:
“Menjauhlah sana… menjauhlah sana (kalau begitu)” [Shahih. HR. Ibnu
Majah].
Kita dapat melihat bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan
kecelakaan kepada mereka, karena enggan untuk melakukan introspeksi,
enggan melakukan koreksi dengan menerima kebenaran yang ada di depan
mata. Oleh karenanya, evaluasi diri merupakan perantara untuk muhasabah
an-nafs, sedangkan koreksi diri merupakan hasil yang pengaruhnya
ditandai dengan sikap rujuk dari kemaksiatan dan kekeliruan dalam suatu
pendapat dan perbuatan.
Sarana-sarana untuk Mengevaluasi Diri
Diantara sarana yang dapat membantu seseorang untuk mengevaluasi diri adalah sebagai berikut:
Pertama, tidak menutup diri dari saran pihak lain
Seorang dapat terbantu untuk mengevaluasi diri dengan bermusyawarah
bersama rekan dengan niat untuk mencari kebenaran. Imam Bukhari
mengeluarkan suatu riwayat yang menceritakan usul Umar kepada Abu Bakr
radhiallahu anhuma untuk mengumpulkan al-Quran. Tatkala itu Abu Bakr
menolak usul tersebut, namun Umar terus mendesak beliau dan mengatakan
bahwa hal itu merupakan kebaikan. Pada akhirnya Abu Bakr pun menerima
dan mengatakan,
فَلَمْ يَزَلْ عُمَرُ يُرَاجِعُنِي فِيهِ حَتَّى شَرَحَ اللَّهُ لِذَلِكَ صَدْرِي، وَرَأَيْتُ الَّذِي رَأَى عُمَرُ
“Umar senantiasa membujukku untuk mengevaluasi pendapatku dalam
permasalahan itu hingga Allah melapangkan hatiku dan akupun berpendapat
sebagaimana pendapat Umar” [HR. Bukhari].
Abu Bakr tidak bersikukuh dengan pendapatnya ketika terdapat usulan yang
lebih baik. Dan kedudukan beliau yang lebih tinggi tidaklah menghalangi
untuk menerima kebenaran dari pihak yang memiliki pendapat berbeda.
Kedua, bersahabat dengan rekan yang shalih
Salah satu sarana bagi seorang muslim untuk tetap berada di jalan yang
benar adalah meminta rekan yang shalih untuk menasehati dan mengingatkan
kekeliruan kita, meminta masukannya tentang solusi terbaik bagi suatu
permasalahan, khususnya ketika orang lain tidak lagi peduli untuk saling
mengingatkan. Bukankah selamanya pendapat dan pemikiran kita tidak
lebih benar dan terarah daripada rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam, padahal beliau bersabda,
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ، أَنْسَى كَمَا تَنْسَوْنَ، فَإِذَا نَسِيتُ فَذَكِّرُونِي
“Sesungguhnya aku hanyalah manusia seperti kalian. Aku lupa sebagaimana
kalian lupa. Oleh karenanya, ingatkanlah aku ketika diriku lupa” [HR.
Bukhari].
Ketika budaya saling menasehati dan mengingatkan tertanam dalam perilaku
kaum mukminin, maka seakan-akan mereka itu adalah cermin bagi diri kita
yang akan mendorong kita berlaku konsisten. Oleh karena itu, dalam
menentukan jalan dan pendapat yang tepat, anda harus berteman dengan
seorang yang shalih. Anda jangan mengalihkan pandangan kepada maddahin
(kalangan penjilat) yang justru tidak akan mengingatkan akan kekeliruan
saudaranya.
إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِالْأَمِيرِ خَيْرًا جَعَلَ لَهُ وَزِيرَ صِدْقٍ، إِنْ نَسِيَ ذَكَّرَهُ، وَإِنْ ذَكَرَ أَعَانَهُ
“Jika Allah menghendaki kebaikan bagi diri seorang pemimpin/pejabat,
maka Allah akan memberinya seorang pendamping/pembantu yang jujur yang
akan mengingatkan jika dirinya lalai dan akan membantu jika dirinya
ingat” [Shahih. HR. Abu Dawud].
Contoh nyata akan hal ini disebutkan dalam kisah al-Hur bin Qais, orang
kepercayaan Umar bin al-Khaththab radhiallahu anhu. Pada saat itu, Umar
murka dan hendak memukul Uyainah bin Husn karena bertindak kurang ajar
kepada beliau, maka al-Hur berkata kepada Umar,
يَا أَمِيرَ المُؤْمِنِينَ، إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ لِنَبِيِّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {خُذِ العَفْوَ وَأْمُرْ بِالعُرْفِ
وَأَعْرِضْ عَنِ الجَاهِلِينَ} [الأعراف: 199] ، وَإِنَّ هَذَا مِنَ
الجَاهِلِينَ، «وَاللَّهِ مَا جَاوَزَهَا عُمَرُ حِينَ تَلاَهَا عَلَيْهِ،
وَكَانَ وَقَّافًا عِنْدَ كِتَابِ اللَّهِ»
“Wahai amir al-Mukminin, sesungguhnya Allah ta’ala berfirman kepada
nabi-Nya, “Berikan maaf, perintahkan yang baik dan berpalinglah dari
orang bodoh.” Sesungguhnya orang ini termasuk orang yang bodoh”. Perawi
hadits ini mengatakan, “Demi Allah Umar tidak menentang ayat itu saat
dibacakan karena ia adalah orang yang senantiasa tunduk terhadap
al-Quran.” [HR. Bukhari].
Betapa banyak kezhaliman dapat dihilangkan dan betapa banyak tindakan
yang keliru dapat dikoreksi ketika rekan yang shalih menjalankan
perannya.
Ketiga, menyendiri untuk melakukan muhasabah
Salah satu bentuk evaluasi diri yang paling berguna adalah menyendiri
untuk melakukan muhasabah dan mengoreksi berbagai amalan yang telah
dilakukan.
Diriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab, beliau mengatakan,
حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا، وَتَزَيَّنُوا لِلْعَرْضِ الأَكْبَرِ
“Koreksilah diri kalian sebelum kalian dihisab dan berhiaslah (dengan
amal shalih) untuk pagelaran agung (pada hari kiamat kelak)” [HR.
Tirmidzi].
Diriwayatkan dari Maimun bin Mihran, beliau berkata,
لَا يَكُونُ العَبْدُ تَقِيًّا حَتَّى يُحَاسِبَ نَفْسَهُ كَمَا يُحَاسِبُ شَرِيكَهُ
“Hamba tidak dikatakan bertakwa hingga dia mengoreksi dirinya sebagaimana dia mengoreksi rekannya” [HR. Tirmidzi].
Jika hal ini dilakukan, niscaya orang yang melaksanakannya akan
beruntung. Bukanlah sebuah aib untuk rujuk kepada kebenaran, karena
musibah sebenarnya adalah ketika terus-menerus melakukan kebatilan.
Faedah Mengintrospeksi Diri
Mengintrospeksi diri memiliki beberapa faedah, yaitu:
Pertama, musibah terangkat dan hisab diringankan
Pada lanjutan atsar Umar di atas disebutkan bahwa sebab terangkatnya
musibah dan diringankannya hisab di hari kiamat adalah ketika seorang
senantiasa bermuhasabah. Umar radhiallahu anhu mengatakan,
وَإِنَّمَا يَخِفُّ الحِسَابُ يَوْمَ القِيَامَةِ عَلَى مَنْ حَاسَبَ نَفْسَهُ فِي الدُّنْيَا
“Sesungguhnya hisab pada hari kiamat akan menjadi ringan hanya bagi
orang yang selalu menghisab dirinya saat hidup di dunia” [HR. Tirmidzi].
Ketika berbagai kerusakan telah merata di seluruh lini kehidupan, maka
jalan keluar dari hal tersebut adalah dengan kembali (rujuk) kepada
ajaran agama sebagaimana yang disabdakan nabi shallallahu alaihi wa
sallam,
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ ، وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ،
وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ، وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ، سَلَّطَ اللَّهُ
عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
“Apabila kamu berjual beli dengan cara inah (riba), mengambil ekor-ekor
sapi (berbuat zhalim), ridha dengan pertanian (mementingkan dunia) dan
meninggalkan jihad (membela agama), niscaya Allah akan menimpakan
kehinaan kepada kalian, Dia tidak akan mencabutnya sampai kalian kembali
kepada ajaran agama”
Dalam riwayat lain, disebutkan dengan lafadz,
حتى يراجعوا دينهم
“Hingga mereka mengoreksi pelaksanaan ajaran agama mereka” [Shahih. HR. Abu Dawud].
Anda dapat memperhatikan bahwa rujuk dengan mengoreksi diri merupakan langkah awal terangkatnya musibah dan kehinaan.
Kedua, hati lapang terhadap kebaikan dan mengutamakan akhirat daripada dunia
Demikian pula, mengoreksi kondisi jiwa dan amal merupakan sebab
dilapangkannya hati untuk menerima kebaikan dan mengutamakan kehidupan
yang kekal (akhirat) daripada kehidupan yang fana (dunia). Dalam sebuah
hadits yang panjang dari Ibnu Mas’ud disebutkan, “Suatu ketika seorang
raja yang hidup di masa sebelum kalian berada di kerajaannya dan tengah
merenung. Dia menyadari bahwasanya kerajaan yang dimilikinya adalah
sesuatu yang tidak kekal dan apa yang ada di dalamnya telah menyibukkan
dirinya dari beribadah kepada Allah. Akhirnya, dia pun mengasingkan diri
dari kerajaan dan pergi menuju kerajaan lain, dia memperoleh rezeki
dari hasil keringat sendiri. Kemudian, raja di negeri tersebut
mengetahui perihal dirinya dan kabar akan keshalihannya. Maka, raja
itupun pergi menemuinya dan meminta nasehatnya. Sang raja pun berkata
kepadanya, “Kebutuhan anda terhadap ibadah yang anda lakukan juga
dibutuhkan oleh diriku”. Akhirnya, sang raja turun dari tunggangannya
dan mengikatnya, kemudian mengikuti orang tersebut hingga mereka berdua
beribadah kepada Allah azza wa jalla bersama-sama” [Hasan. HR. Ahmad].
Perhatikan, kemampuan mereka berdua untuk mengoreksi kekeliruan serta
keinginan untuk memperbaiki diri setelah dibutakan oleh kekuasaan,
timbul setelah merenungkan dan mengintrospeksi hakikat kondisi mereka.
Ketiga, memperbaiki hubungan diantara sesama manusia
Introspeksi dan koreksi diri merupakan kesempatan untuk memperbaiki
keretakan yang terjadi diantara manusia. Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam bersabda,
إِنَّ أَبْوَابَ الْجَنَّةِ تُفْتَحُ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَيَوْمَ
الْخَمِيسِ، فَيُغْفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا،
إِلَّا رَجُلٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ، فَيُقَالُ:
أَنْظِرُوهُمَا حَتَّى يَصْطَلِحَا ” مَرَّتَيْنِ
“Sesungguhnya pintu-pintu surga dibuka pada hari Senin dan Kamis, di
kedua hari tersebut seluruh hamba diampuni kecuali mereka yang memiliki
permusuhan dengan saudaranya. Maka dikatakan, “Tangguhkan ampunan bagi
kedua orang ini hingga mereka berdamai” [Sanadnya shahih. HR. Ahmad].
Menurut anda, bukankah penangguhan ampunan bagi mereka yang bermusuhan,
tidak lain disebabkan karena mereka enggan untuk mengoreksi diri
sehingga mendorong mereka untuk berdamai?
Keempat, terbebas dari sifat nifak
Sering mengevaluasi diri untuk kemudian mengoreksi amalan yang telah
dilakukan merupakan salah satu sebab yang dapat menjauhkan diri dari
sifat munafik. Ibrahim at-Taimy mengatakan,
مَا عَرَضْتُ قَوْلِي عَلَى عَمَلِي إِلَّا خَشِيتُ أَنْ أَكُونَ مُكَذِّبًا
“Tidaklah diriku membandingkan antara ucapan dan perbuatanku, melainkan
saya khawatir jika ternyata diriku adalah seorang pendusta (ucapannya
menyelisihi perbuatannya).”
Ibnu Abi Malikah juga berkata,
أَدْرَكْتُ ثَلاَثِينَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، كُلُّهُمْ يَخَافُ النِّفَاقَ عَلَى نَفْسِهِ، مَا مِنْهُمْ
أَحَدٌ يَقُولُ: إِنَّهُ عَلَى إِيمَانِ جِبْرِيلَ وَمِيكَائِيلَ
“Aku menjumpai 30 sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, merasa
semua mengkhawatirkan kemunafikan atas diri mereka. Tidak ada satupun
dari mereka yang mengatakan bahwa keimanannya seperti keimanan Jibril
dan Mikail” [HR. Bukhari].
Ketika mengomentari perkataan Ibnu Abi Malikah, Ibnu Hajar mengutip perkataan Ibnu Baththal yang menyatakan,
إِنَّمَا خَافُوا لِأَنَّهُمْ طَالَتْ أَعْمَارُهُمْ حَتَّى رَأَوْا مِنَ
التَّغَيُّرِ مَا لَمْ يَعْهَدُوهُ وَلَمْ يَقْدِرُوا عَلَى إِنْكَارِهِ
فَخَافُوا أَنْ يَكُونُوا دَاهَنُوا بِالسُّكُوتِ
“Mereka khawatir karena telah memiliki umur yang panjang hingga mereka
melihat berbagai kejadian yang tidak mereka ketahui dan tidak mampu
mereka ingkari, sehingga mereka khawatir jika mereka menjadi seorang
penjilat dengan sikap diamnya” [Fath al-Baari 1/111].
Kesimpulannya, seorang muslim sepatutnya mengakui bahwa dirinya adalah
tempatnya salah dan harus mencamkan bahwa tidak mungkin dia terbebas
dari kesalahan. Pengakuan ini mesti ada di dalam dirinya, agar dia dapat
mengakui kesalahan-kesalahan yang dilakukannya sehingga pintu untuk
mengoreksi diri tidak tertutup bagi dirinya. Allah ta’ala berfirman,
إن الله لا يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم
“Allah tidak akan mengubah kondisi suatu kaum sampai mereka mengubahnya sendiri” (Al-Ra`d 11).
Manusia merupakan makhluk yang lemah, betapa seringnya dia memiliki
pendirian dan sikap yang berubah-ubah. Namun, betapa beruntungnya mereka
yang dinaungi ajaran agama dengan mengevaluasi diri untuk berbuat yang
tepat dan mengoreksi diri sehingga melakukan sesuatu yang diridhai
Allah. Sesungguhnya rujuk kepada kebenaran merupakan perilaku
orang-orang yang kembali kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya.
Disadur dari artikel al-Muraja’ah wa at-Tashhih
(http://tsabat07.wordpress.com/2012/01/09/introspeksi-diri-akhlak-yang-terlupa/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar