Selama ini, cerita tentang preman yang suka semena-mena meminta ‘uang
keamanan’ pada orang-orang yang mencari nafkah di ‘wilayahnya’ hanya
saya saksikan di televisi.
Baru kemarin ini saya sadar, dunia Jogja tak
senyaman yang saya pikirkan.
Menurut
pengakuan dari seorang supir taksi yang saya tumpangi, untuk ‘ngetem’
di luar terminal Giwangan Jogja, ternyata ada pungutan liar dari oknum
tertentu. Modusnya adalah untuk iuran pembangunan kampung, biaya parkir,
dan (lagi-lagi) biaya keamanan. Dan pungutannya parah. Berbeda dengan
tarif di stasiun Tugu yang bisa dibilang wajar untuk biaya parkir yaitu
sebesar 5.000,- / hari, di lingkar luar terminal Giwangan para supir
taksi ini ditagih tiap mengangkut minimal 10.ooo,-!! Bahkan angka ini
bisa mencapai 25.000 untuk sekali angkut jika lokasi yang dituju hingga
luar kota. Bayangkan jika sehari dia mengangkut 9x, bisa jadi yang
diserahkan pada ‘petugas keamanan desa’ mencapai 90.ooo rupiah! Dan hal
ini pernah dialami oleh supir taksi yang menjadi narasumber saya.
Jadi, oknum tak bertanggung jawab ini merupakan sekelompok orang yang
‘tugas jaganya’ bergantian. Mereka suka pura-pura tidur di lapak-lapak
pinggir jalan–menunggu taksi-taksi laku. Mereka tidak benar-benar tidur,
tapi cuma diam mendengarkan percakapan antara supir taksi dan calon
penumpang. Jadi mereka tahu tujuan taksi itu, dan bisa minta bayaran
tinggi kalau lokasinya jauh.
Kata supir taksinya, mereka adalah anak buah orang Brimob. “Yaa, mau ngelawan nggih pripun. Wong yang dilawan itu aparat negara. Nggih mboten saget to?“
Entahlah, ini bisa disebut pungutan liar atau tidak. Tapi kalau
ditanya kampung dekat situ sudah ada pengembangan apa, toh juga tidak
bisa dijawab.
Ckckck.. Saat KPK, Polri, dan instansi negara lainnya ribut dengan
kasus korupsi yang besar-besar, yang sebentar heboh, sebentar lagi
menghilang, orang-orang kecil tetap cuek dan melanjutkan aktivitasnya.
Yaa, seperti pungutan-pungutan liar ini. Naudzubillaah…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar