Awal tahun ini, akan menjadi awal pencapaian
besar bagi negeri ini di bidang demokrasi, hukum dan HAM, setelah pada
tahun sebelumnya terjadi pergolakan yang begitu runcing dan alot
mengenai masalah ini. Itu yang dikatakan insan pers di semua media.
Rupanya hanya karena hal-hal kecil inilah semua orang begitu terfokus
untuk ambil bagian menyelesaikan masalah yang sebenarnya tidak berefek
pada masyarakat, ya, di facebook, headline surat kabar, topnews
televisi, semua hanya itu-itu saja yang dibahas. Sehingga membuat
masyarakat lupa sebuah hal yang jika dibiarkan akan menjadi batu neraka
negeri ini di masa depan.
Media Kian Lama Kian Busuk
Zaman saya kecil dahulu, media belum
segemerlap sekarang ini, televisi pun paling ya hanya 5-6 stasiun yang
setia menemani masyarakat Indonesia. Itu pun pukul 11.00 malam
kebanyakan sudah menghilang dari peredaran. Namun, kini televisi banyak
yang menyiarkan acaranya hingga 24 jam sehari. Luar biasanya, dahulu
acara yang disajikan jauh masih lebih berisi ketimbang sekarang. Kenapa
saya bilang seperti itu? Ya, saya waktu kecil dahulu paling senang
menonton televisi sebagai pengisi waktu luang, dan rasanya itu tak jauh
berbeda dari anak kecil zaman sekarang. Lalu, jika saya menyalakan
televisi, banyak tontonan yang memang khusus anak-anak.
Saya ingat dahulu ada acara Si Komo
boneka sahabat anak-anak ciptaan Kak Seto dan Boneka Susan yang sangat
menggemaskan milik Kak Ria Enes, dari dua acara itu saja anak-anak kecil
saat itu bisa mendapatkan pendidikan moral yang baik dari media.
Kemudian dari segi selera musik, anak kecil saat itu punya koleksi musik
favorit sendiri, Trio Kwek Kwek, Chikita Meidi, Meisy, Joshua, Dea
Imut, dan lain-lain. Tentu saja lirik di dalamnya disesuaikan dengan
umur, bahkan tidak jarang memuat pesan moral untuk anak-anak. Soal
sinetron, luar biasa, zaman dahulu saya ingat ada sinetron Indera Keenam
dan Lorong Waktu, yang selain idenya menarik isinya pun sesuai untuk
ditonton anak-anak, dan lagi-lagi jelas menyisipkan pendidikan bagi anak
usia dini.
Hari minggu pagi, dulu adalah waktu tak
tersentuh bagi seorang anak kecil, karena menyajikan banyak acara kartun
khusus anak-anak yang menarik, dan semuanya rasanya tidak masalah
mengenai apa konten acara tersebut. Bahkan film di bioskop pun sengaja
dibuat untuk konsumsi anak-anak, macam Petualangan Sherina atau Joshua
oh Joshua.
Baik cukup bernostalgianya, mari kita
bandingkan dengan keadaan media saat ini. Mari kita ingat-ingat, jika
kita hari ini kita menyalakan televisi, stasiun apapun kapanpun, apa
acara yang khusus ditayangkan untuk anak-anak? Umm.. Tidak ada. Kalaupun
ada yakin sangat sedikit. Ngomong-ngomong perlu diingat, kartun yang
ditayangkan sekarang rasanya sudah tidak cocok dengan penikmatnya, misal
Naruto atau Spongebob yang banyak disukai anak-anak, rupanya isinya
tidak memberikan pendidikan yang baik bagi mereka, malah cenderung
mengajarkan hal yang buruk.
Lebih miris lagi bahwa infotainment yang isinya berbahan radioaktif alias menyebarkan pengaruh buruk dengan sangat luar biasa, ditayangkan 40 kali lebih sehari! Infotainment
yang membahas kehidupan selebritis dapat mempengaruhi gaya hidup
masyarakat, sehingga ketika melihat kehidupan tokoh hiburan tersebut
yang begitu glamour ada kecenderungan untuk meniru, alhasil gaya hidup konsumtif yang
menjadi musuh agama dan adat timur, menjadi melekat dalam kehidupan
sehari-hari. Itu masyarakat, apalagi anak kecil yang notabene tidak bisa
menyaring informasi mana yang baik atau tidak, akan meniru secara bulat
apa yang dipertontonkan selebritis lewat infotainment.
Jangan dulu sedih melihat keadaan ini,
karena ini belum seberapa. Coba anda tanyakan kepada seorang anak kecil,
apa lagu favorit mereka. Saya yakin mereka akan menjawab lagu dari
salah satu band ngetop ibukota, yang membawakan lagu bertema cinta
dengan lirik penuh kata-kata yang meracuni pikiran seorang anak. Selain
itu, tontonan yang ada di televisi yang ber-genre sinetron, yang
menyajikan alur cerita sampah tanpa moralitas, malah menjadi sumber
doktrin utama anak kecil. Kita orang dewasa saja sudah eneg melihat apa
yang dibawakan sinetron, lalu apa yang terjadi jika hal itu direkam dan
diperilakukan oleh anak-anak kita. Soal, film bioskop, tak usah ditanya
lah, tema utama sineas film Indonesia saat ini antara horor, komedi atau
seks. Walau akhir-akhir ini ada kecenderungan perbaikan isi, tetap saja
film-film itu bukan konsumsi anak kecil. Kalau begini, anak-anak
ingusan itu bisa terlalu cepat dewasa, dan ini akan berdampak buruk pada
psikis mereka ketika mereka beranjak dewasa.
Lalu apa yang akan dicapai oleh generasi
muda itu jika dalam otak mereka hanya berisi sampah yang mereka rekam
dari semua media itu? Mereka lupa pentingnya memiliki sebuah cita-cita
yang tinggi, mereka lupa untuk apa mereka dilahirkan, mereka lupa bahwa
mereka adalah harapan kita di masa depan, mereka lupa itu semua…
Kemudian mereka akan tumbuh tanpa didikan moral yang benar, tanpa arah,
sekedar melalui hidup dan mati tanpa meninggalkan jejak jasa bagi negeri
ini. Apa itu yang kita inginkan? Menyedihkan.
Degradasi Pendidikan
Apa anda berpikir bahwa standardisasi
internasional adalah sebuah kemajuan bagi pendidikan bangsa ini?
Coba
anda pikir lebih jauh.
Saya melihat kecenderungan pendidikan
zaman sekarang tidak jauh berbeda dengan keadaan pendidikan Indonesia
ketika masa kolonial Belanda. Dimana dahulu hanya kaum bangsawan dan
priayi yang bisa menyemat pendidikan. Itu pun dengan kualitas pendidikan
yang rendah dan hanya sampai jenjang pendidikan yang belum disebut
tinggi. Jangan harap kaum buruh dan tani saat itu bisa menyekolahkan
anaknya dengan harapan akan memperbaiki taraf hidup di masa depan. Ya,
itu semua diberlakukan oleh kaum penjajah agar cara berpikir anak bangsa
jajahannya tidak bisa berkembang dan mudah mereka bodohi. Buta huruf,
buta pengajaran akan menutup akses mereka ke dalam dunia politik dan
internasional sehingga membuat penjajah biadab bebas menguras keringat
dan emas negeri kaya ini.
Untunglah saat itu muncul macam Sarikat
Dagang Islam, K.H. Samanhudi dan kawan-kawannya mulai mendirikan
sekolah-sekolah tani dan buruh untuk kaum miskin, meski dengan kualitas
berbeda dengan sekolah kaum bangsawan, tetapi sekedar pengajaran
membaca, agama, dan cinta tanah air bisa disematkan. Luar biasanya,
inilah perintis berdirinya banyak organisasi lain yang semisi. Lalu
akhirnya pendidikan saat itu bisa tumbuh dan mulai membuka cakrawala
anak-anak bangsa. Pada saatnya mereka menjadi tahu pentingnya
kemerdekaan, mereka pun menjadi paham akan pentingnya pergerakan politik
yang bisa menyatukan bangsa ini di kemudian hari, dan juga membuat
mereka bisa membuka akses internasional untuk mendukung satu suara
melawan penjajah. Ya, tentu kemerdekaan hanya mimpi jika pendidikan
tidak dinikmati seluruh anak bangsa saat itu.
Tapi, apa bedanya keadaan pendidikan
zaman kolonial dengan keadaan pendidikan zaman sekarang? Ingat bahwa
para penjajah masih haus akan nikmatnya sumber daya alam negeri ini,
sehingga sampai hari ini mereka masih berusaha agar bisa tetap menguras
apa yang ada dan hebatnya tanpa terlihat! Seperti dulu, sistem
pendidikan lah salah satu caranya. Kaum kapitalis itu mendoktrinkan
pemerintah untuk mengusung sistem pendidikan internasional, dengan
kurikulumnya internasional yang katanya bagus, dengan fasilitas
internasional yang katanya akan menunjang taraf pendidikan, dengan
tenaga pengajar berijazah internasional yang katanya berpengalaman, atau
dengan apalah, sehingga menjadi dalih dan alasan pendidikan tak apa
mahal.
Memang ada program wajib belajar 9 tahun,
dimana Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama gratis untuk seluruh
siswa di Indonesia, tetapi tengok bahwa ada sebuah tulisan kecil dalam
iklannya di televisi, “kecuali untuk SBI (Sekolah Bertaraf
Internasional)”. Ya, rupanya memang ada sebuah keganjilan dalam program
ini. Sistem kucuran dana sekolah dimana dengan adanya program ini
menjadi langsung dari pemerintah, menutup jalur-jalur pungutan ilegal
yang biasanya dibebankan kepada orang tua. Sehingga ini membuat banyak
sekolah bersemangat untuk melakukan standardisasi agar berlabel
internasional, yang akhirnya bisa memasang tarif semahal mungkin dengan
menjanjikan sejuta angan-angan kepada siswa dan orang tua, agar uang
mengalir deras.
Bukan sekedar omong kosong, lihatlah SD
dan SMP yang seharusnya gratis, setelah memiliki sertifikat
Internasional perlu kaget terlebih dahulu untuk memenuhi biayanya.
Pelabelan ini khususnya banyak terjadi pada sekolah yang dikenal favorit
di kotanya, sekolah-sekolah yang dianggap memiliki mutu pendidikan yang
baik. Akhirnya mungkin tinggallah sekolah-sekolah butut dengan guru
tidak qualified yang tidak mampu melakukan standardisasi yang bertahan menerima siswa dari kalangan tidak mampu. Alhasil, bagai deja vu,
hanya “kaum bangsawan” yang bisa mengenyam pendidikan tinggi dan baik,
kaum miskin hanya bisa disekolahkan di “sekolah buruh dan tani”. Tidak
berbeda dari zaman kolonial bukan?
Agar yang kaya yang bisa sekolah sehingga
di masa depan akan tambah kaya, dan agar yang miskin tidak bisa belajar
dan di masa depannya akan tetap miskin. Inilah kondisi yang ingin
dijaga kaum kapitalis, agar mereka tetap punya mangsa yang bisa
dibodohi. Luar biasanya itu dilakukan dengan dalih penaikan taraf
pendidikan yang sangat harum baunya padahal busuk isinya.
“Mana Tawa Senang Kami?”
Tak pernah terpikirkan mungkin jika seorang anak kecil begitu asingnya dengan istilah bermain.
Tapi nyatanya begitulah. Jangankan anak kecil, kita para kakak yang
lebih tua sedikit pun mungkin di masa kecil dahulu sudah asing dengan
istilah ini. Ya, main yang saya maksud adalah segelintir
permainan-permainan “gratis” non-elektronik khas anak-anak Indonesia
macam gatrik, bébénténgan, uucingan, ucing galah, ucing sumput, ucing kup, sonlah, oray-orayan, sorodot gaplok, dan lain sebagainya. Bagaimana dengan anda, apakah asing? Pernahkah memainkannya??
Kebanyakan anak-anak perkotaan zaman
sekarang, saya yakin sangat asing dengan istilah-istilah tersebut.
Sebagian besar istilahnya mendapat kesenangan dari hasil “membakar uang”
orang tuanya, seperti bermain Play Station, net-gaming, X-Box, PC, Wii, dan
banyak game modern mahal lainnya. Juga manfaat yang didapat tidak lebih
dari melepas penat, dan memberikan kesenangan semu. Ya, sudah jarang
anak-anak metropolitan merasakan senangnya menjadi “anak-anak”.
Mungkin banyak sahabat-sahabat yang tak
seberuntung saya di masa kecil yang pernah merasakan senangnya semua
permainan-permainan tersebut. Ya, sedikit berbagi, sekaligus
mengingatkan anda yang suatu saat nanti akan menjadi seorang orang tua,
bahwa kita, anak-anak Indonesia punya permainan-permainan yang selain
menyenangkan juga menyehatkan, dengan bonus mengasah otak dan
keterampilan.
Sebelum akhirnya kembali ke Bandung, saya
sejak kecil sempat dibawa pindah ke beberapa kota di Jawa Barat
mengikuti dinas orang tua. Diantaranya ke Garut (1996-1997) dan
Indramayu (1998-2001). Nah, di dua kota itu saya sempat merasakan
bagaimana kehidupan seorang anak kecil yang hidup penuh petualangan dan
cerita, dan kenangannya nyampe sampai sekarang. Terutama di
kota kedua, di sana dengan kehidupan masyarakatnya yang masih begitu
sederhana, ditambah lahan tanah di sana yang belum sepadat perkotaan
alias lapangan di segala penjuru, membuat anak-anak kecil tak perlu
jauh-jauh mencari permainan menarik.
Saya yang saat itu sepantaran anak SD
kelas 2, hampir setiap hari memainkan permainan-permainan tradisional.
Dengan area sekolah yang sebagian besar terbuat dari paving block yang sangat luas, menjadikan uucingan sebagai menu wajibnya. Juga di sudut sekolah yang masih beralaskan tanah, biasanya jadi tempat memainkan sonlah atau sorodot gaplok. Saya ingat saat itu karena terlalu semangat bermain sorodot gaplok, ketika
berlari dari kejaran musuh, terantuk batu, terjatuh hingga berdarah.
Kenangan luar biasa. Selain itu, jika kami memilih bermain di teras
depan kelas, anak perempuannya biasanya ramai bermain ucing bola, sedangkan
anak laki-lakinya bermain dengan lima keping kecil genting di telapak
tangan, yang dilempar kecil lalu diterima dengan punggung tangan,
dilempar lagi kemudian disanggap. Entah apa namanya, yang jelas
permainan itu menyenangkan.
Lalu juga bukan bermaksud membuat iri,
tapi yang namanya jam istirahat sekolah, terkadang saya dan teman-teman
sekelas pergi ke luar wilayah sekolah lewat jalan belakang yang tembus
ke areal perkampungan, menuju lahan kosong yang tak terlalu jauh. Sebuah
lapangan kecil yang dikelilingi semak, dengan kitaran pepohonan dan
beberapa petak rumah warga. Nah, disana mulailah kami memainkan sebuah
permainan bernama bébénténgan, jarak antar bentengnya mungkin hanya 15m, tapi dengan
medan “pertempuran” seluas 1 hektar lebih! Perjanjiannya hanya tidak
boleh lewat jalanan raya, oya bahkan kami terkadang bisa memutar ke
belakang dan berlari sekitar 5 menit dan tiba-tiba ada di back-line musuh
siap untuk menyerang, sebagai strategi tak terduga. Apalagi dengan
rimbunnya pohon dan adanya beberapa rumah, bermain serasa gerilya
beneran. Asyik ya…
Di rumah, sewaktu kecil juga saya tak
pernah bosan bermain dengan kawan-kawan tetangga, selain permainan
tradisional yang terlalu sering dimainkan, biasanya kami juga
menghabiskan waktu jalan-jalan keliling permukiman dengan imajinasi
kanak-kanak yang menginginkan sebuah petualangan, terkadang lari-lari
menangkap capung, atau juga main air di sungai besar yang tak jauh dari
rumah, meski anak kampung semuanya menjeburkan diri mandi dan berenang
disana, saya masih ingat ketika itu saya memilih cuma
goyang-goyang kaki di sisi sungai, soalnya saya melihat airnya yang
coklat pekat dan juga karena di sisi lain sungai ada sebuah “stasiun
akhir” yang membuat saya kecil tak tega. Selain itu, permainan seperti
bermain gundu, masak-masakan dari lumpur, kuda-kudaan dengan tali rafia,
kartu gambar, juga jadi menu permainan sehari-hari kami.
Oya, ada beberapa karya besar kami yang
saat itu masih berumur 9 tahun, yakni bisa membuat gendang-gendangan dan
mobil-mobilan sendiri! Gratis pula.. Ya, gendang-gendangan yang kami
buat badannya terbuat dari ember bekas cat, dengan bagian tabuhannya
dari kertas karung semen yang dipasangkan kencang-kencang dengan karet,
lalu bagian atas dari kertas semennya itu seluruhnya diolesi lem kertas,
lalu dijemur hingga kering. Maka, jadilah gendang mainan dengan suara
yang nyaring ketika ditabuh. Keren kan? Tak berbeda, mobil-mobilan yang
kami buat pun memanfaatkan barang-barang bekas. Cukup dua buah kaleng
susu kental manis bekas yang nantinya dipakai sebagai roda, dan
batang-batang bambu yang dirakit sedemikian rupa dengan karet sebagai
kerangkanya. Dengan kreativitas tak terbatas, saya waktu itu berhasil
membuat sebuah F1, haha.. Pengalaman luar biasa, sambil menumbuhkan
kreativitas. Hmm.. rupanya masih banyak mungkin permainan lainnya yang
pernah saya mainkan di waktu kecil, namun saya sudah lupa-lupa ingat.
Semua permainan itu begitu menyenangkan,
hingga ketika SD kelas 4 saya harus pindah kembali ke Bandung, dan
menetap hingga sekarang. Tempat tinggal saya di kota kelahiran saya ini
ada di tengah permukiman padat penduduk. Dimana tak ada lapangan yang
cukup luas bahkan untuk bermain bola. Terkadang saya dan teman-teman
tetangga memaksakan diri bermain bola di secuil tanah tempat orang
menjemur pakaian. Itu pun hanya ada beberapa bulan sebelum semuanya
berubah jadi rumah-rumah. Sebenarnya ada sebuah lapangan luas yang biasa
dipakai bapak-bapak bermain bola, yang jika kosong kamilah yang
bermain, sambil ditemani banyak anak lain bermain layang-layang dan
kakek-kakek mengurus sangkar burung yang digantungkan di tiang-tiang
tinggi di sana. Namun, hanya sempat bermain satu kali di sana,
selanjutnya lapangan luas itu bertransformasi menjadi mall bernama Paris Van Java.
Itulah sekelumit sejarah dari pengalaman
kehidupan pribadi yang mungkin yang benar adanya jika para anak kecil di
kota metropolitan tak bisa merasakan lagi menyenangkannya
permainan-permainan kolosal, kaulinan barudak. Saking dianggap
unik dan langka, sebuah acara dokumentasi yang memperlihatkan anak-anak
pedesaan sedang bermain memainkan permainan-permainan sederhana, seperti
“Si Bolang” menuai rating baik. Mau bagaimana lagi memang, permainan penuh manfaat dan kesenangan itu telah tergerus zaman dan permukiman.
Beberapa penelitian mungkin sudah sampai
kabarnya ke masyarakat, bahwa otak anak jauh lebih berkembang jika sang
anak dilibatkan dalam permainan-permainan full body contact semacam itu, daripada hanya mengasah ketangkasan jari jemari dengan bermain Play Station
atau semacamnya. Selain itu, dengan intensifnya interaksi sosial yang
ada pada permainan tradisional juga berpengaruh pada akselerasi
kedewasaannya. Orang yang lebih banyak berinteraksi, akan lebih terlatih
berpikir logis dan dewasa. Orang sudah banyak sadar tentang hal ini,
itulah alasan kenapa tempat-tempat macam Out Bound, yang menawarkan
taman bermain buatan, meski mahal banyak orang tua rela membawa
anak-anak mereka ke sana. Juga tempat seperti futsal court yang
demikian juga mahalnya, jadi pilihan utama anak muda menghabiskan waktu
bersama teman-temannya. Mereka menginginkan kesenangan yang sama, namun
kini perlu biaya tinggi.
Tidak hanya itu, ternyata dalam
permainan-permainan tradisional banyak disisipkan berbagai filosofi
kehidupan. Secara langsung atau tidak, itu bisa mengedukasi anak,
sehingga akan mempengaruhi cara berpikirnya di masa depan.
Satu hal, lihatlah foto SMA orang tua
kita, entah mengapa rasanya sang tokoh jauh lebih dewasa baik dari sisi
fisik maupun mental dibandingkan dengan kita yang sama-sama masih SMA
saat ini. Mungkinkah sebuah perlambatan kedewasaan yang rasanya terjadi,
dipengaruhi salah satunya oleh permainan di masa kecil? Dimana saat
kita kecil, ada sebuah rantai hilang yang mempengaruhi cara pikir dan
tingkah laku kita? Entah apa yang pasti, tapi rasanya perlu adanya usaha
untuk menyuntikan lagi semangat “bébénténgan” dalam diri anak-anak kecil. Jangan substitusi hal baik seperti itu dengan kebiasaan buruk macam PS, net-gaming, hang-out di mall, nonton film bioskop yang tak beredukasi, konsumerisme, dan lain sebagainya yang menjadi racun bagi seorang anak.
Saran saya, cukup biarkan mereka kembali tertawa sebagai anak-anak, bukan sebagai objek ekonomi. Restorasi.
“Kita ini sebenarnya salah arah. Kita
memimpikan pertumbuhan dan perkembangan kehidupan umat manusia, tapi
mengarah pada arah yang salah. Karena sebenarnya kita pernah melalui
puncak kehidupan itu 14 abad yang lalu. Maka jika ingin kembali kepuncak
itu, yang kita perlu lakukan adalah restorasi menuju fitrah sebagai
manusia.”
Sumber: http://anggakdinata.wordpress.com/2010/01/31/mau-kau-apakan-bocah-negeri-kau-bedebah/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar