10 Des 2012

Mau Kau Apakan Bocah Negeri ANDA,, Bedebah?!

Awal tahun ini, akan menjadi awal pencapaian besar bagi negeri ini di bidang demokrasi, hukum dan HAM, setelah pada tahun sebelumnya terjadi pergolakan yang begitu runcing dan alot mengenai masalah ini. Itu yang dikatakan insan pers di semua media.

Rupanya hanya karena hal-hal kecil inilah semua orang begitu terfokus untuk ambil bagian menyelesaikan masalah yang sebenarnya tidak berefek pada masyarakat, ya, di facebook, headline surat kabar, topnews televisi, semua hanya itu-itu saja yang dibahas. Sehingga membuat masyarakat lupa sebuah hal yang jika dibiarkan akan menjadi batu neraka negeri ini di masa depan.

 

Media Kian Lama Kian Busuk
Zaman saya kecil dahulu, media belum segemerlap sekarang ini, televisi pun paling ya hanya 5-6 stasiun yang setia menemani masyarakat Indonesia. Itu pun pukul 11.00 malam kebanyakan sudah menghilang dari peredaran. Namun, kini televisi banyak yang menyiarkan acaranya hingga 24 jam sehari. Luar biasanya, dahulu acara yang disajikan jauh masih lebih berisi ketimbang sekarang. Kenapa saya bilang seperti itu? Ya, saya waktu kecil dahulu paling senang menonton televisi sebagai pengisi waktu luang, dan rasanya itu tak jauh berbeda dari anak kecil zaman sekarang. Lalu, jika saya menyalakan televisi, banyak tontonan yang memang khusus anak-anak.

Saya ingat dahulu ada acara Si Komo boneka sahabat anak-anak ciptaan Kak Seto dan Boneka Susan yang sangat menggemaskan milik Kak Ria Enes, dari dua acara itu saja anak-anak kecil saat itu bisa mendapatkan pendidikan moral yang baik dari media. Kemudian dari segi selera musik, anak kecil saat itu punya koleksi musik favorit sendiri, Trio Kwek Kwek, Chikita Meidi, Meisy, Joshua, Dea Imut, dan lain-lain. Tentu saja lirik di dalamnya disesuaikan dengan umur, bahkan tidak jarang memuat pesan moral untuk anak-anak. Soal sinetron, luar biasa, zaman dahulu saya ingat ada sinetron Indera Keenam dan Lorong Waktu, yang selain idenya menarik isinya pun sesuai untuk ditonton anak-anak, dan lagi-lagi jelas menyisipkan pendidikan bagi anak usia dini.

Hari minggu pagi, dulu adalah waktu tak tersentuh bagi seorang anak kecil, karena menyajikan banyak acara kartun khusus anak-anak yang menarik, dan semuanya rasanya tidak masalah mengenai apa konten acara tersebut. Bahkan film di bioskop pun sengaja dibuat untuk konsumsi anak-anak, macam Petualangan Sherina atau Joshua oh Joshua.

Baik cukup bernostalgianya, mari kita bandingkan dengan keadaan media saat ini. Mari kita ingat-ingat, jika kita hari ini kita menyalakan televisi, stasiun apapun kapanpun, apa acara yang khusus ditayangkan untuk anak-anak? Umm.. Tidak ada. Kalaupun ada yakin sangat sedikit. Ngomong-ngomong perlu diingat, kartun yang ditayangkan sekarang rasanya sudah tidak cocok dengan penikmatnya, misal Naruto atau Spongebob yang banyak disukai anak-anak, rupanya isinya tidak memberikan pendidikan yang baik bagi mereka, malah cenderung mengajarkan hal yang buruk.

Lebih miris lagi bahwa infotainment yang isinya berbahan radioaktif alias menyebarkan pengaruh buruk dengan sangat luar biasa, ditayangkan 40 kali lebih sehari! Infotainment yang membahas kehidupan selebritis dapat mempengaruhi gaya hidup masyarakat, sehingga ketika melihat kehidupan tokoh hiburan tersebut yang begitu glamour ada kecenderungan untuk meniru, alhasil gaya hidup konsumtif yang menjadi musuh agama dan adat timur, menjadi melekat dalam kehidupan sehari-hari. Itu masyarakat, apalagi anak kecil yang notabene tidak bisa menyaring informasi mana yang baik atau tidak, akan meniru secara bulat apa yang dipertontonkan selebritis lewat infotainment.

Jangan dulu sedih melihat keadaan ini, karena ini belum seberapa. Coba anda tanyakan kepada seorang anak kecil, apa lagu favorit mereka. Saya yakin mereka akan menjawab lagu dari salah satu band ngetop ibukota, yang membawakan lagu bertema cinta dengan lirik penuh kata-kata yang meracuni pikiran seorang anak. Selain itu, tontonan yang ada di televisi yang ber-genre sinetron, yang menyajikan alur cerita sampah tanpa moralitas, malah menjadi sumber doktrin utama anak kecil. Kita orang dewasa saja sudah eneg melihat apa yang dibawakan sinetron, lalu apa yang terjadi jika hal itu direkam dan diperilakukan oleh anak-anak kita. Soal, film bioskop, tak usah ditanya lah, tema utama sineas film Indonesia saat ini antara horor, komedi atau seks. Walau akhir-akhir ini ada kecenderungan perbaikan isi, tetap saja film-film itu bukan konsumsi anak kecil. Kalau begini, anak-anak ingusan itu bisa terlalu cepat dewasa, dan ini akan berdampak buruk pada psikis mereka ketika mereka beranjak dewasa.

Lalu apa yang akan dicapai oleh generasi muda itu jika dalam otak mereka hanya berisi sampah yang mereka rekam dari semua media itu? Mereka lupa pentingnya memiliki sebuah cita-cita yang tinggi, mereka lupa untuk apa mereka dilahirkan, mereka lupa bahwa mereka adalah harapan kita di masa depan, mereka lupa itu semua… Kemudian mereka akan tumbuh tanpa didikan moral yang benar, tanpa arah, sekedar melalui hidup dan mati tanpa meninggalkan jejak jasa bagi negeri ini. Apa itu yang kita inginkan? Menyedihkan.

 

Degradasi Pendidikan
Apa anda berpikir bahwa standardisasi internasional adalah sebuah kemajuan bagi pendidikan bangsa ini? 

Coba anda pikir lebih jauh.

Saya melihat kecenderungan pendidikan zaman sekarang tidak jauh berbeda dengan keadaan pendidikan Indonesia ketika masa kolonial Belanda. Dimana dahulu hanya kaum bangsawan dan priayi yang bisa menyemat pendidikan. Itu pun dengan kualitas pendidikan yang rendah dan hanya sampai jenjang pendidikan yang belum disebut tinggi. Jangan harap kaum buruh dan tani saat itu bisa menyekolahkan anaknya dengan harapan akan memperbaiki taraf hidup di masa depan. Ya, itu semua diberlakukan oleh kaum penjajah agar cara berpikir anak bangsa jajahannya tidak bisa berkembang dan mudah mereka bodohi. Buta huruf, buta pengajaran akan menutup akses mereka ke dalam dunia politik dan internasional sehingga membuat penjajah biadab bebas menguras keringat dan emas negeri kaya ini.

Untunglah saat itu muncul macam Sarikat Dagang Islam, K.H. Samanhudi dan kawan-kawannya mulai mendirikan sekolah-sekolah tani dan buruh untuk kaum miskin, meski dengan kualitas berbeda dengan sekolah kaum bangsawan, tetapi sekedar pengajaran membaca, agama, dan cinta tanah air bisa disematkan. Luar biasanya, inilah perintis berdirinya banyak organisasi lain yang semisi. Lalu akhirnya pendidikan saat itu bisa tumbuh dan mulai membuka cakrawala anak-anak bangsa. Pada saatnya mereka menjadi tahu pentingnya kemerdekaan, mereka pun menjadi paham akan pentingnya pergerakan politik yang bisa menyatukan bangsa ini di kemudian hari, dan juga membuat mereka bisa membuka akses internasional untuk mendukung satu suara melawan penjajah. Ya, tentu kemerdekaan hanya mimpi jika pendidikan tidak dinikmati seluruh anak bangsa saat itu.

Tapi, apa bedanya keadaan pendidikan zaman kolonial dengan keadaan pendidikan zaman sekarang? Ingat bahwa para penjajah masih haus akan nikmatnya sumber daya alam negeri ini, sehingga sampai hari ini mereka masih berusaha agar bisa tetap menguras apa yang ada dan hebatnya tanpa terlihat! Seperti dulu, sistem pendidikan lah salah satu caranya. Kaum kapitalis itu mendoktrinkan pemerintah untuk mengusung sistem pendidikan internasional, dengan kurikulumnya internasional yang katanya bagus, dengan fasilitas internasional yang katanya akan menunjang taraf pendidikan, dengan tenaga pengajar berijazah internasional yang katanya berpengalaman, atau dengan apalah, sehingga menjadi dalih dan alasan pendidikan tak apa mahal.

Memang ada program wajib belajar 9 tahun, dimana Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama gratis untuk seluruh siswa di Indonesia, tetapi tengok bahwa ada sebuah tulisan kecil dalam iklannya di televisi, “kecuali untuk SBI (Sekolah Bertaraf Internasional)”. Ya, rupanya memang ada sebuah keganjilan dalam program ini. Sistem kucuran dana sekolah dimana dengan adanya program ini menjadi langsung dari pemerintah, menutup jalur-jalur pungutan ilegal yang biasanya dibebankan kepada orang tua. Sehingga ini membuat banyak sekolah bersemangat untuk melakukan standardisasi agar berlabel internasional, yang akhirnya bisa memasang tarif semahal mungkin dengan menjanjikan sejuta angan-angan kepada siswa dan orang tua, agar uang mengalir deras.

Bukan sekedar omong kosong, lihatlah SD dan SMP yang seharusnya gratis, setelah memiliki sertifikat Internasional perlu kaget terlebih dahulu untuk memenuhi biayanya. Pelabelan ini khususnya banyak terjadi pada sekolah yang dikenal favorit di kotanya, sekolah-sekolah yang dianggap memiliki mutu pendidikan yang baik. Akhirnya mungkin tinggallah sekolah-sekolah butut dengan guru tidak qualified yang tidak mampu melakukan standardisasi yang bertahan menerima siswa dari kalangan tidak mampu. Alhasil, bagai deja vu, hanya “kaum bangsawan” yang bisa mengenyam pendidikan tinggi dan baik, kaum miskin hanya bisa disekolahkan di “sekolah buruh dan tani”. Tidak berbeda dari zaman kolonial bukan?

Agar yang kaya yang bisa sekolah sehingga di masa depan akan tambah kaya, dan agar yang miskin tidak bisa belajar dan di masa depannya akan tetap miskin. Inilah kondisi yang ingin dijaga kaum kapitalis, agar mereka tetap punya mangsa yang bisa dibodohi. Luar biasanya itu dilakukan dengan dalih penaikan taraf pendidikan yang sangat harum baunya padahal busuk isinya.

 

“Mana Tawa Senang Kami?”
Tak pernah terpikirkan mungkin jika seorang anak kecil begitu asingnya dengan istilah bermain. Tapi nyatanya begitulah. Jangankan anak kecil, kita para kakak yang lebih tua sedikit pun mungkin di masa kecil dahulu sudah asing dengan istilah ini. Ya, main yang saya maksud adalah segelintir permainan-permainan “gratis” non-elektronik khas anak-anak Indonesia macam gatrik, bébénténgan, uucingan, ucing galah, ucing sumput, ucing kup, sonlah, oray-orayan, sorodot gaplok, dan lain sebagainya. Bagaimana dengan anda, apakah asing? Pernahkah memainkannya??

Kebanyakan anak-anak perkotaan zaman sekarang, saya yakin sangat asing dengan istilah-istilah tersebut. Sebagian besar istilahnya mendapat kesenangan dari hasil “membakar uang” orang tuanya, seperti bermain Play Station, ­net-gaming, X-Box, PC, Wii, dan banyak game modern mahal lainnya. Juga manfaat yang didapat tidak lebih dari melepas penat, dan memberikan kesenangan semu. Ya, sudah jarang anak-anak metropolitan merasakan senangnya menjadi “anak-anak”.

Mungkin banyak sahabat-sahabat yang tak seberuntung saya di masa kecil yang pernah merasakan senangnya semua permainan-permainan tersebut. Ya, sedikit berbagi, sekaligus mengingatkan anda yang suatu saat nanti akan menjadi seorang orang tua, bahwa kita, anak-anak Indonesia punya permainan-permainan yang selain menyenangkan juga menyehatkan, dengan bonus mengasah otak dan keterampilan.

Sebelum akhirnya kembali ke Bandung, saya sejak kecil sempat dibawa pindah ke beberapa kota di Jawa Barat mengikuti dinas orang tua. Diantaranya ke Garut (1996-1997) dan Indramayu (1998-2001). Nah, di dua kota itu saya sempat merasakan bagaimana kehidupan seorang anak kecil yang hidup penuh petualangan dan cerita, dan kenangannya nyampe sampai sekarang. Terutama di kota kedua, di sana dengan kehidupan masyarakatnya yang masih begitu sederhana, ditambah lahan tanah di sana yang belum sepadat perkotaan alias lapangan di segala penjuru, membuat anak-anak kecil tak perlu jauh-jauh mencari permainan menarik.
Saya yang saat itu sepantaran anak SD kelas 2, hampir setiap hari memainkan permainan-permainan tradisional. Dengan area sekolah yang sebagian besar terbuat dari paving block yang sangat luas, menjadikan uucingan sebagai menu wajibnya. Juga di sudut sekolah yang masih beralaskan tanah, biasanya jadi tempat memainkan sonlah atau sorodot gaplok. Saya ingat saat itu karena terlalu semangat bermain sorodot gaplok, ketika berlari dari kejaran musuh, terantuk batu, terjatuh hingga berdarah. Kenangan luar biasa. Selain itu, jika kami memilih bermain di teras depan kelas, anak perempuannya biasanya ramai bermain ucing bola, sedangkan anak laki-lakinya bermain dengan lima keping kecil genting di telapak tangan, yang dilempar kecil lalu diterima dengan punggung tangan, dilempar lagi kemudian disanggap. Entah apa namanya, yang jelas permainan itu menyenangkan.

Lalu juga bukan bermaksud membuat iri, tapi yang namanya jam istirahat sekolah, terkadang saya dan teman-teman sekelas pergi ke luar wilayah sekolah lewat jalan belakang yang tembus ke areal perkampungan, menuju lahan kosong yang tak terlalu jauh. Sebuah lapangan kecil yang dikelilingi semak, dengan kitaran pepohonan dan beberapa petak rumah warga. Nah, disana mulailah kami memainkan sebuah permainan bernama bébénténgan, jarak antar bentengnya mungkin hanya 15m, tapi dengan medan “pertempuran” seluas 1 hektar lebih! Perjanjiannya hanya tidak boleh lewat jalanan raya, oya bahkan kami terkadang bisa memutar ke belakang dan berlari sekitar 5 menit dan tiba-tiba ada di back-line musuh siap untuk menyerang, sebagai strategi tak terduga. Apalagi dengan rimbunnya pohon dan adanya beberapa rumah, bermain serasa gerilya beneran. Asyik ya…

Di rumah, sewaktu kecil juga saya tak pernah bosan bermain dengan kawan-kawan tetangga, selain permainan tradisional yang terlalu sering dimainkan, biasanya kami juga menghabiskan waktu jalan-jalan keliling permukiman dengan imajinasi kanak-kanak yang menginginkan sebuah petualangan, terkadang lari-lari menangkap capung, atau juga main air di sungai besar yang tak jauh dari rumah, meski anak kampung semuanya menjeburkan diri mandi dan berenang disana, saya masih ingat ketika itu saya memilih cuma goyang-goyang kaki di sisi sungai, soalnya saya melihat airnya yang coklat pekat dan juga karena di sisi lain sungai ada sebuah “stasiun akhir” yang membuat saya kecil tak tega. Selain itu, permainan seperti bermain gundu, masak-masakan dari lumpur, kuda-kudaan dengan tali rafia, kartu gambar, juga jadi menu permainan sehari-hari kami.

Oya, ada beberapa karya besar kami yang saat itu masih berumur 9 tahun, yakni bisa membuat gendang-gendangan dan mobil-mobilan sendiri! Gratis pula.. Ya, gendang-gendangan yang kami buat badannya terbuat dari ember bekas cat, dengan bagian tabuhannya dari kertas karung semen yang dipasangkan kencang-kencang dengan karet, lalu bagian atas dari kertas semennya itu seluruhnya diolesi lem kertas, lalu dijemur hingga kering. Maka, jadilah gendang mainan dengan suara yang nyaring ketika ditabuh. Keren kan? Tak berbeda, mobil-mobilan yang kami buat pun memanfaatkan barang-barang bekas. Cukup dua buah kaleng susu kental manis bekas yang nantinya dipakai sebagai roda, dan batang-batang bambu yang dirakit sedemikian rupa dengan karet sebagai kerangkanya. Dengan kreativitas tak terbatas, saya waktu itu berhasil membuat sebuah F1, haha.. Pengalaman luar biasa, sambil menumbuhkan kreativitas. Hmm.. rupanya masih banyak mungkin permainan lainnya yang pernah saya mainkan di waktu kecil, namun saya sudah lupa-lupa ingat.

Semua permainan itu begitu menyenangkan, hingga ketika SD kelas 4 saya harus pindah kembali ke Bandung, dan menetap hingga sekarang. Tempat tinggal saya di kota kelahiran saya ini ada di tengah permukiman padat penduduk. Dimana tak ada lapangan yang cukup luas bahkan untuk bermain bola. Terkadang saya dan teman-teman tetangga memaksakan diri bermain bola di secuil tanah tempat orang menjemur pakaian. Itu pun hanya ada beberapa bulan sebelum semuanya berubah jadi rumah-rumah. Sebenarnya ada sebuah lapangan luas yang biasa dipakai bapak-bapak bermain bola, yang jika kosong kamilah yang bermain, sambil ditemani banyak anak lain bermain layang-layang dan kakek-kakek mengurus sangkar burung yang digantungkan di tiang-tiang tinggi di sana. Namun, hanya sempat bermain satu kali di sana, selanjutnya lapangan luas itu bertransformasi menjadi mall bernama Paris Van Java.

Itulah sekelumit sejarah dari pengalaman kehidupan pribadi yang mungkin yang benar adanya jika para anak kecil di kota metropolitan tak bisa merasakan lagi menyenangkannya permainan-permainan kolosal, kaulinan barudak. Saking dianggap unik dan langka, sebuah acara dokumentasi yang memperlihatkan anak-anak pedesaan sedang bermain memainkan permainan-permainan sederhana, seperti “Si Bolang” menuai rating baik. Mau bagaimana lagi memang, permainan penuh manfaat dan kesenangan itu telah tergerus zaman dan permukiman.

Beberapa penelitian mungkin sudah sampai kabarnya ke masyarakat, bahwa otak anak jauh lebih berkembang jika sang anak dilibatkan dalam permainan-permainan full body contact semacam itu, daripada hanya mengasah ketangkasan jari jemari dengan bermain Play Station atau semacamnya. Selain itu, dengan intensifnya interaksi sosial yang ada pada permainan tradisional juga berpengaruh pada akselerasi kedewasaannya. Orang yang lebih banyak berinteraksi, akan lebih terlatih berpikir logis dan dewasa. Orang sudah banyak sadar tentang hal ini, itulah alasan kenapa tempat-tempat macam Out Bound, yang menawarkan taman bermain buatan, meski mahal banyak orang tua rela membawa anak-anak mereka ke sana. Juga tempat seperti futsal court yang demikian juga mahalnya, jadi pilihan utama anak muda menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Mereka menginginkan kesenangan yang sama, namun kini perlu biaya tinggi.

Tidak hanya itu, ternyata dalam permainan-permainan tradisional banyak disisipkan berbagai filosofi kehidupan. Secara langsung atau tidak, itu bisa mengedukasi anak, sehingga akan mempengaruhi cara berpikirnya di masa depan.

Satu hal, lihatlah foto SMA orang tua kita, entah mengapa rasanya sang tokoh jauh lebih dewasa baik dari sisi fisik maupun mental dibandingkan dengan kita yang sama-sama masih SMA saat ini. Mungkinkah sebuah perlambatan kedewasaan yang rasanya terjadi, dipengaruhi salah satunya oleh permainan di masa kecil? Dimana saat kita kecil, ada sebuah rantai hilang yang mempengaruhi cara pikir dan tingkah laku kita? Entah apa yang pasti, tapi rasanya perlu adanya usaha untuk menyuntikan lagi semangat “bébénténgan” dalam diri anak-anak kecil. Jangan substitusi hal baik seperti itu dengan kebiasaan buruk macam PS, net-gaming, hang-out di mall, nonton film bioskop yang tak beredukasi, konsumerisme, dan lain sebagainya yang menjadi racun bagi seorang anak.

Saran saya, cukup biarkan mereka kembali tertawa sebagai anak-anak, bukan sebagai objek ekonomi. Restorasi.



“Kita ini sebenarnya salah arah. Kita memimpikan pertumbuhan dan perkembangan kehidupan umat manusia, tapi mengarah pada arah yang salah. Karena sebenarnya kita pernah melalui puncak kehidupan itu 14 abad yang lalu. Maka jika ingin kembali kepuncak itu, yang kita perlu lakukan adalah restorasi menuju fitrah sebagai manusia.”


Sumber: http://anggakdinata.wordpress.com/2010/01/31/mau-kau-apakan-bocah-negeri-kau-bedebah/

Tidak ada komentar:

 
Sumber : http://riskimaulana.blogspot.com/2011/12/tips-cara-supaya-artikel-blog-tidak.html#ixzz2E8tlcOjK