11 Jul 2012

Mati untuk Hidup, atau Hidup untuk Mati?

Kebanyakan orang berpendapat bahwa kematian adalah hal yang pasti dalam hidup ini. Jadi pilihan pertama adalah menghidupi hidup yang tidak lama lagi akan mati. Hidup untuk mati.
Benarkan ada hidup untuk mati? Misalkan orang berderma sebanyak-banyaknya kepada berjuta-juta orang pun jika dia mati dalam keadaan yang tragis seperti hilang di gunung atau tenggelam di lautan maka akan susah mengenang kebaikan dia tanpa ada tanda-tanda peringatan akan kematiannya. Semisal memorabilia atau batu nisan.

Belum lagi isu-isu yang buruk selama kehidupannya akan menggerogoti kepercayaan orang akan kebaikan yang dia tanam di dunia sebelum kematiannya. Tidak cuma itu, misalkan seorang yang dianggap sangat berjasa seperti seorang pahlawan pun selalu mendapat polemik apakah dia layak disebut pahlawan atau tidak. Bahkan tidak sedikit orang yang dianggap pahlawan tapi oleh pihak yang berkuasa malah disebut sebagai orang yang bertanggungjawab akan suatu kejadian buruk di masa lampau. Demikian pula sebaliknya. Tidak sedikit pula orang yang berkelakuan buruk tetapi mendapat kesan yang baik setelah dia meninggal. Hal ini karena pandainya para ahli waris dan orang-orang yang berpengaruh menggali nilai-nilai kebaikannya dan mempromosikan kepada orang lain.

Artinya, menghidupi hidup ini sebelum nanti kita mati masih mempunyai permasalahan kelak. Memang yang patut dilakukan dalam menghidupi hidup ini adalah mengisinya dengan sebanyak-banyaknya kebaikan sehingga nanti ketika kita meninggal akan dikenang yang baik-baik dari kita. Persoalannya adalah apakah demikian juga Tuhan yang memiliki hidup dan ruh kita menganggap kita demikian baiknya?

Hanya ada satu jalan agar kita bisa dianggap baik oleh manusia juga oleh Tuhan yaitu dengan cara “Mati untuk Hidup (yang sebenarnya hidup)”. Mati yang dimaksudkan adalah kematian amarah kita kepada orang lain, kematian nafsu serakah kita akan hak orang lain, kematian kesombongan kita akan apa yang kita punyai, kematian kepahitan kita akan tindakan orang lain sehingga muncul dendam di hati, dan masih banyak hal yang harus kita matikan untuk dapat menjalani kehidupan yang baik di hadapan orang lain juga di hadapan Tuhan.

Ketika kita memutuskan “Mati untuk Hidup” maka yang terjadi adalah kita tidak akan menjadi rohani-rohani yang mati, apatis, cuek, tidak peduli, terhadap hal-hal yang penuh kebaikan. Tetapi kita akan selalu menyambut hal-hal yang baik itu dengan keinginan yang luar biasa. Karena hal-hal yang baik itu akan semakin membuat hidup kita menjadi lebih hidup.

Dengan mematikan diri untuk menjalani kehidupan, kita akan lebih peduli pada sesama, lebih mau menghargai orang lain daripada diri sendiri. Lebih mau mengalah daripada berkelahi. Lebih mau memahami daripada mementingkan kepentingan sendiri. Jujur saja, hal-hal demikian sangatlah berat untuk dilakukan. Mana mau orang-orang kehilangan jabatan, uang, kesempatan agar orang lain bisa memanfaatkannya lebih dahulu daripada kita?

Seorang guru pernah mencuci kaki murid-muridnya dan mengatakan bahwa hal seperti itu haruslah mau dikerjakan oleh murid-muridnya itu kepada orang lain bahkan satu sama lain. Mencuci kaki adalah hal yang sangat hina! Mengagungkan posisi orang yang dicuci kakinya daripada dirinya sendiri. Tapi hal itu ditekankan oleh sang guru kepada murid-muridnya. Dan tidak pernah ada orang yang mengajarkan hal yang demikian itu sebelum dia.

Tidak hanya itu, ketika guru itu hendak ditangkap untuk disiksa bahkan dibinasakan, dia meminta agar para penangkapnya membebaskan murid-muridnya karena hanya dia lah yang dicari-cari oleh para penguasa, bukan murid-muridnya. Dia mengutamakan hal semacam itu bukan hanya karena dia sayang nyawa murid-muridnya tetapi agar murid-muridnya bisa menjadi saksi setiap kejadian yang akan dilaluinya. Bahkan dia menghalangi seorang muridnya yang hendak mengadakan perlawanan terhadap orang-orang yang akan menangkapnya. Dia tidak sayang nyawanya sendiri dan tidak takut ajarannya akan berhenti jika dia mati. Tidak pernah ada guru yang bertindak seperti itu sebelum dia.
Ajaran Guru itu sangat sederhana. Hidup seperti halnya garam. Garam akan hancur dalam masakan. Tapi kehancurannya akan menyemarakkan rasa dari masakan itu. Hidup tak ubahnya seperti terang. Terang adalah pelepasan energi yang besar untuk membuat orang bisa melihat dalam kegelapan. Intinya hidup adalah pengorbanan kita. Hidup adalah proses kematian kita untuk kehidupan ini. Hidup yang sejati.

Jadi pilih mana? Hidup untuk mati atau Mati untuk hidup?

Tidak ada komentar:

 
Sumber : http://riskimaulana.blogspot.com/2011/12/tips-cara-supaya-artikel-blog-tidak.html#ixzz2E8tlcOjK