1. Hiduplah bersama Masyarakat
Penulis berpesan kepada para pemuda agar mereka turun
dari langit mimpi dan dunia idealistik menuju ke bumi
realistik.
Berdampinganlah dengan rakyat, para pekerja,
petani, buruh mujahid, masyarakat akar rumput (grass root)
di kota-kota besar dan desa-desa terpencil, sehingga kalian
akan memperoleh fitrah yang lurus, hati yang baik, dan raga
yang terlatih bekerja.
Penulis berpesan agar mereka terjun melihat realitas,
memberikan sumbangsih pengajaran terhadap orang-orang yang
masih buta huruf hingga dapat membaca, mengobati orang-orang
yang sakit hingga sembuh, memompa semangat orang-orang untuk
bangkit, mendorong orang-orang yang malas untuk bekerja,
menolong orang-orang yang membutuhkan hingga tercukupi
kebutuhannya, dan berbagai kebajikan lainnya.
Pemuda bertanggung jawab membentuk kelompok-kelompok
untuk menghapuskan buta huruf, mengumpulkan dan
mendistribusikan zakat, membangun sarana umum, memerangi
penyakit-penyakit menular, kampanye anti merokok, miras
(minuman keras), dan gambar-gambar porno, melawan
tradisi-tradisi yang berbahaya, dan menyebarkan
tradisi-tradisi yang sehat sebagai gantinya. Betapa luasnya
lapangan yang masih membutuhkan kesungguhan, niat, dan
semangat para pemuda.
Wahai pemuda Islam, janganlah kalian terpaku pada diri
sendiri, meninggalkan bangsa, padahal mereka adalah nenek
moyang, saudara-saudara, dan sanak kerabatmu. Turunlah ke
masyarakat bangsamu! Bergumullah bersama mereka, hidup dan
berserikatlah bersama mereka, bimbinglah orang-orang yang
terbebani dalam hidupnya, usaplah air mata anak-anak yatim,
tersenyumlah untuk menghibur wajah-wajah yang tertimpa
kesusahan, ringankanlah beban yang dipikul oleh orang-orang
yang kepayahan, tolonglah orang yang teraniaya, dan obatilah
hati yang bersedih dengan perbuatan, kata-kata yang baik,
dan senyuman yang tulus.
Sesungguhnya melakukan tugas sosial dan memprioritaskan
pertolongan kepada mereka --khususnya terhadap golongan
lemah-- merupakan ibadah yang bernilai tinggi yang belum
ditunaikan secara baik oleh mayoritas umat Islam dewasa ini.
Meskipun ajaran Islam jelas-jelas mengajak kepada kebaikan
dan memerintahkannya, bahkan menetapkannya sebagai kewajiban
harian bagi seorang muslim.
Penulis telah menjelaskan dalam karya kami, al-Ibadah fil
Islam, bahwa Islam memperluas lapangan ibadah dan
memperlebar wilayahnya yang meliputi amal-amal yang amat
banyak yang tak pernah terbetik di hati bahwa hal itu
ditetapkan oleh agama paripurna ini sebagai suatu cara
penghambaan (ibadah) dan pendekatan diri kepada Allah SWT.
Ketahuilah, setiap amal yang bermanfaat dianggap sebagai
ibadah oleh Islam. Bahkan ibadah yang paling utama, selama
dimaksudkan oleh penulisnya sebagai kebaikan yang ikhlas
lillahi ta'ala, bukan untuk mencari pujian dan popularitas
semu. Setiap perbuatan baik yang dilakukan dengan niat dan
cara yang baik digolongkan sebagai ibadah dan pendekatan
diri kepada Allah SWT (taqarrub illallah). Perbuatan semacam
itu merupakan amal yang dapat menghapus air mata orang yang
dirundung kesedihan, meringankan kegelisahan orang lain,
membalut luka orang yang tertimpa bencana, membangkitkan
semangat hidup orang yang kesusahan, mencegah penderitaan
orang yang dizalimi, membantu orang yang dililit hutang,
menolong fakir miskin, dan sebagainya.
Amal yang demikian banyaknya telah ditetapkan oleh Islam
sebagai ibadah kepada Allah SWT, cabang keimanan, dan
hal-hal yang mendatangkan pahala dari-Nya.
Penulis telah menyimak hadits-hadits Nabi Muhammad saw.
mengenai hal ini dan berkesimpulan bahwa tidaklah mencukupi
hanya dengan amal-amal yang dicontohkan tersebut, yang
dianggap sebagai ibadah sosial (yang objeknya adalah manusia
sebagai manusia). Lebih dari itu, Islam masih menetapkan
amal yang terkait dengan eksistensi manusia sebagai makhluk
biologis yang terdiri dari organ-organ.
Abu Hurairah r.a. meriwayatkan hadits Rasulullah saw.,
"Setiap ucapan salam untukku dari orang-orang adalah sedekah baginya setiap hari di mana matahari terbit di dalamnya. Berbuat adil di antara dua orang adalah sedekah. Menolong orang dengan mengangkatnya atau mengangkat barang-barangnya ke atas kendaraannya, adalah sedekah. Kata-kata yang baik adalah sedekah. Setiap langkah menuju tempat melakukan shalat adalah sedekah dan menyingkirkan gangguan dari jalan iuga sedekah." (Muttafaq'alaih)
Ibnu Abbas juga meriwayatkan hadits semacam ini dari
Rasulullah saw.,
"Setiap senyuman seseorang merupakan shalat (baginya) setiap hari!" Seorang dari para sahabat berkata, "Ini adalah sesuatu yang paling berat dari apa yang pernah engkau sampaikan kepada kami!" Rasulullah saw. menjawab, "Perintahmu ber-amar ma'ruf dan laranganmu meninggalkan kemungkaran sama dengan shalat. Kamu membantu dan menolong orang yang lemah adalah shalat. Engkau menyingkirkan gangguan dari jalan adalah shalat. Dan setiap langkah untuk mengerjakan shalat adalah shalat juga." (HR Ibnu Huzaiman dalam Sahihnya)
Hadist yang serupa maknanya dengan hadits di atas
diriwayatkan oleh Buraidah dari Rasulullah saw.,
"Dalam diri manusia ada 360 sendi, dia harus mengeluarkan sedekah untuk setiap sendi tersebut." Para sahabat bertanya, "Siapa yang kuat untuk melakukannya wahai Rasulullah saw.?" (Mereka mengira sedekah harta). Rasulullah saw. menjawab, "Dahak di dalam masjid yang dipendamnya (dalam tanah) dan sesuatu yang mengganggu yang disingkirkannya dari jalan..." (HR Ahmad, Abu Daud, Ibnu Huzaimah, dan Ibnu Hibban)
Berbagai hadits menerangkan bahwa tersenyum kepada orang
lain, menuntun tuna netra, menunjukkan jalan bagi orang yang
tersesat, turut merasakan penderitaan orang lain, memikul
beban berat kaum dhuafa, dan semua pekerjaan baik di dunia
ini merupakan sedekah.
Dengan menjalankan petunjuk Rasulullah saw. tersebut,
seorang muslim hidup di tengah masyarakat dengan memancarkan
kebaikan dan kasih sayang serta penuh manfaat dan berkah. Ia
melakukan kebaikan dan mengajak orang lain kepada kebaikan
pula. Ia menerangkan dan menunjukkan hal-hal yang ma'ruf,
sehingga ia layak disebut sebagai kunci kebajikan dan
penutup pintu kejahatan. Sebagaimana Rasulullah saw.
bersabda,
"Sungguh beruntung seorang hamba Allah yang (dijadikan-Nya) sebagai kunci pembuka kebaikan dan sekaligus pengunci bagi kejahatan."
Sebagian muslim yang bersemangat mengatakan, "Akan
tetapi, amal-amal sosial ini dapat mengganggu kesibukan
berdakwah dan memberi kontribusi dalam bentuk nyata, padahal
aspek ini lebih membutuhkan garapan dan keseriusan." Penulis
menjelaskan kepada mereka bahwa amal sosial merupakan salah
satu bentuk dakwah kepada masyarakat secara real, yakni
dakwah yang disertai aksi (perbuatan).
Dakwah bukanlah sekadar pemaparan kata-kata atau tulisan,
tetapi juga memperhatikan dan menyelesaikan persoalan
manusia. Imam Hasan al-Banna --semoga Allah SWT senantiasa
merahmatinya-- amat peka terhadap persoalan semacam ini,
yang mendorongnya mendirikan badan sosial bersama kaum
muslimin lainnya.
Umat Islam diperintahkan untuk menebar kebaikan kepada
manusia lain seperti halnya perintah untuk melakukan ruku',
sujud, dan beribadah kepada Allah. Seperti ditegaskan Allah
Azza wa Jalla,
"Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan berbuatlah kebaikan supaya kamu mendapatkan kemenangan. Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu... " (al-Hajj: 77-78)
Maka, penulis membuat tiga kategori muslim berdasarkan
aktivitas yang mereka lakukan. Pertama, muslim yang
menekankan hubungan vertikal dengan Allah dalam bentuk
pelaksanaan berbagai ibadah ritual kepada-Nya. Kedua, muslim
yang menekankan hubungannya dengan masyarakat dalam bentuk
pelaksanaan program-program sosial demi kebaikan masyarakat.
Ketiga, muslim yang menekankan perlawanan terhadap
kekuatan-kekuatan jahat. Mereka berjihad di jalanAllah
dengan sebenar-benarnya.
Barangsiapa yang menyibukkan diri melakukan kebaikan bagi
masyarakat, maka dia tidak menyibukkan diri kecuali untuk
hal-hal yang diwajibkan Allah kepadanya. Muslim yang
melaksanakannya, insya Allah, akan menerima pahala dariNya
dan terpuji di hadapan manusia.
Sebagian aktivis yang menggebu-gebu mengatakan,
"Sesungguhnya jihad yang dilakukan oleh para da'i harus
difokuskan pada upaya mendirikan negara Islam yang
menerapkan hukum Allah dan menjalankan seluruh aspek
kehidupan atas dasar Islam. Negara tersebut harus
benar-benar menerapkan Islam dan menyiarkannya ke luar
negeri."
"Bila negara Islam telah berdiri, maka negara akan
menguasai seluruh hajat dan tuntutan masyarakat,
menyelenggarakan pendidikan bagi seluruh penduduk,
memberikan lapangan pekerjaan kepada orang-orang yang
menganggur, memelihara dan menjamin para dhu'afa, mencukupi
segala kebutuhan masyarakat, menyuplai obat-obatan kepada
orang-orang yang menderita sakit, menyadarkan orang-orang
yang zalim, dan membangun kekuatan kelompok mustadh'afin.
Maka kita harus mewujudkan berdirinya negara ini. Tidak
membuang-buang waktu untuk memulai langkah perdana,
membangun sisi-sisi tertentu, dan menggarap dasar-dasarnya,"
tegas mereka.
Menanggapi pernyataan tersebut, penulis ingin menjelaskan
bahwa mendirikan negara Islam yang menerapkan syari'at
Allah, mengumpulkan dan mempersatukan umat di bawah panji
Islam itu fardhu hukumnya. Kita wajib mengusahakannya dan
wajib pula bagi para da'i untuk melakukan sesuatu sedapat
mungkin dalam rangka mencapainya dengan menerapkan
metode-metode yang paling ideal dan melalui jalan-jalan yang
paling utama. Kita harus menggalang potensi yang masih
berserakan, latihan berpikir yang tertib, menyingkirkan
berbagai kendala, merangkak menelusuri jalan menuju
tercapainya maksud tersebut, dan mempersiapkan pendapat umum
dalam skala nasional dan internasional untuk menerima ide
pendirian negara Islam.
Hal ini tentu membutuhkan waktu yang amat panjang,
kesabaran yang baik, hingga tercukupinya syarat-syarat yang
diperlukan, lenyapnya tantangan-tantangan, dan kematangan
hasil dari proses perjuangan. Dalam upaya mewujudkan
cita-cita mulia itu, sebaiknya setiap muslim menyibukkan
diri pada hal-hal yang dapat dilakukan dan ditekuni.
Misalnya membina keluarga dan membangun masyarakat. Dan
ingatlah, Allah tidak membebani seseorang melebihi batas
kemampuannya. Doktrin ini dapat dijadikan pelajaran dalam
berjuang karena banyaknya cobaan dan rintangan dalam
memimpin dan mempengaruhi masyarakat.
Seorang muslim tidak sepatutnya menolak mengobati orang
yang sakit padahal dia mampu melakukan pengobatan dengan
alasan menunggu berdirinya negara Islam. Tidak dibenarkan
pula seorang muslim membiarkan orang-orang fakir, janda, dan
lemah padahal dia sanggup membantu mereka dengan memungut
zakat dari orang kaya, dengan alasan santunan itu akan
dilaksanakan setelah negara Islam berdiri melalui
solidaritas sosial yang menyeluruh.
Tidak sepantasnya seorang muslim melihat orang-orang di
sekelilingnya saling bermusuhan dan membunuh, sedangkan dia
diam saja sambil menunggu berdirinya negara Islam. Melihat
berbagai permasalahan itu, seorang muslim harus mengadakan
perbaikan di antara mereka secara wajar dan adil serta
memerangi kelompok yang enggan diajak berdamai.
Sepatutnya seorang muslim melawan kejahatan sedapat
mungkin, demikian juga dalam hal mengerjakan kebaikan. Ia
tidak boleh berpangku tangan. Hendaknya ia mengerjakan
kebajikan dalam kapasitas kemampuannya, meskipun sekecil
atom. Allah SWT berfirman,
"Bertakwalah kepada Allah semampu kamu " (at-Taghabun: 16)
Negara Islam yang dicita-citakan ini dapat dimisalkan
sebagai pohon zaitun dan kurma yang hasilnya baru dapat
dipetik beberapa tahun yang akan datang. Apakah pemilik
kebun akan berhenti bekerja dan menanti kurma dan zaitunnya
berbuah? Tentu tidak. Ia dapat menanam tanaman-tanaman yang
cepat menghasilkan. Apalagi tanaman-tanaman tersebut dapat
menyuburkan tanah, mengisi waktu, dan memberikan kesibukan
yang bermanfaat. Di sisi lain, pohon zaitun dan kurma yang
telah ditanam juga membutuhkan perawatan hingga masa panen
tiba.
2. Berprasangka Baik pada Sesama Muslim
Penulis berwasiat kepada para pemuda bahwa hendaknya
mereka membuang prasangka negatif terhadap orang lain dan
sebaliknya memandang hamba-hamba Allah secara positif.
Berprasangkalah yang baik dan sadari bahwa tujuan utama kita
adalah keterbebasan dan membawa umat Islam kepada kondisi
yang lebih baik. Beberapa hal yang mendorong terciptanya
tingkah laku optimis adalah sebagai berikut.
Pertama, hendaknya kita bergaul dengan orang lain dengan
memandang kedudukannya sebagaimana manusia. Mereka bukan
malaikat yang mempunyai sayap dan bukan diciptakan dari
cahaya, melainkan dari air yang memancar. Sehingga wajar
bila mereka terkadang berbuat salah, sebab setiap anak Adam
mempunyai kesalahan. Jika mereka berbuat dosa, ketahuilah
bahwa ayah mereka yang pertama juga melakukan hal yang sama
sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur'an,
"Dan sesungguhnya telah Kami perintahlah kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat." (Thaha: 115)
Tidak samar lagi bahwa manusia suatu saat bisa
tergelincir dan di saat lain bangkit kembali. Mereka dapat
berbuat kebajikan, tetapi juga dapat berbuat salah. Maka
kita harus membuka pintu maaf baginya dan mengharapkan ia
memperoleh ampunan dari Allah di tengah ketakutannya akan
siksa-Nya. Orang alim setinggi apa pun tidak boleh berputus
asa dari rahmat Allah, dan dia pun tidak dapat bebas dari
makar Allah bila Dia menghendaki. Cukuplah penulis kutipkan
firman Allah berikut ini.
"Katakanlah, 'Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang'." (az-Zumar: 53)
Lihatlah bagaimana Allah SWT menghibur orang-orang yang
telah jauh terperosok dalam lembah kesalahan. Ia
memanggilnya dengan kalimat "Wahai hamba-hamba-Ku." Di ujung
kalimat ini Allah masih menambahkan kata ganti untuk Zat-Nya
Yang Suci sebagai rasa sayang dan dekat dengan manusia
karena kelapangan-Nya. Lalu Ia membuka pintu pengampunan
bagi seluruh pendosa yang lebih besar dari sebesar apa pun
dosa yang dilakukan anak manusia.
Kedua, kita diperintahkan untuk menilai sesuatu dari
aspek lahirnya dan menyerahkan masalah batinnya kepada
Allah. Kita mengakui keislaman orang yang mengakui bahwa
tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad saw. adalah utusan
Allah. Mengenai batinnya, kita serahkan kepada Allah. Dialah
yang akan mempertanyakan apa yang disembunyikan manusia di
dunia pada Hari Kiamat nanti. Dalam kitab Shahih disebutkan
hadits Nabi Muhammad saw. sebagai berikut.
"Aku diperintahkan untuk menerangi manusia hingga mereka mengatakan 'tidak ada Tuhan selain Allah'. Jika mereka telah mengatakannya, maka mereka terjaga dariku darah dan harta mereka kecuali dengan haknya, dan perhitungan (mengenai) mereka terserah pada Allah."
Oleh karena itu, Rasulullah saw. menyikapi orang-orang
munafik dengan berpedoman pada aspek lahiriahnya, meskipun
mereka secara rahasia membuat rekayasa untuk menyerang Nabi
saw. dari belakang. Ketika sebagian sahabat mengusulkan
kepada Nabi saw. agar mereka dibunuh untuk menghentikan
kejahatan dan makarnya, maka lihatlah betapa pribadi agung
ini menjawab dengan haditsnya,
"Aku takut orang berbicara bahwa Muhammad membunuh para sahabatnya."
Ketiga, hati orang yang beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya tidaklah kosong sama sekali dari kebaikan,
meskipun secara lahiriah ia berkubang dalam lumpur
kemaksiatan dan terjatuh karena dosa besar. Kemaksiatan
memang mengurangi keimanan, tetapi tidak mencabutnya sama
sekali dari akar-akarnya, selama itu tidak dilakukan oleh
orang yang terhalang dari kekuasaan Allah.
Tuntunan kita, Rasulullah saw., adalah orang yang paling
mempunyai rasa belas kasihan kepada pelaku maksiat. Maksiat
yang dilakukan oleh salah seorang umat Islam kala itu tidak
mencegah Rasulullah saw. untuk berdoa kepada Allah SWT agar
membukakan pintu maaf bagi si pelaku. Beliau memandang orang
yang tergelincir melakukan kesalahan itu dengan pandangan
seorang dokter terhadap pasiennya, bukan pandangan seorang
polisi terhadap penjahat.
Ilustrasi berikut menunjukkan kebenaran pernyataan di
atas. Seorang pemuda Quraisy meminta izin kepada Rasulullah
saw. agar diperbolehkan berzina. Para sahabat amat geram dan
hendak memberinya pelajaran karena sikap pemuda itu terhadap
Nabi saw., tetapi Nabi saw. menyikapinya dengan caranya yang
khas. Rasulullah saw. bersabda, "Dekatkanlah dia kepadaku."
Maka, pemuda itu pun mendekat. Rasulullah saw. bertanya,
"Apakah kamu suka kalau ibunya melakukannya?" Dia menjawab,
"Tidak, demi Allah. Allah telah menjadikan kami tebusanmu."
Rasululah saw. bersabda, "Orang-orang lain juga tidak mau
kalau ibu-ibu mereka melakukannya." Kemudian Rasulullah saw.
meneruskan pertanyaan seperti itu kepadanya, yakni bagaimana
jika hal itu dilakukan terhadap putri, saudari, dan bibinya.
Setiap pertanyaan Rasulullah saw. dijawabnya "Tidak, demi
Allah. Allah telah menjadikan kami tebusanmu." Akhir-nya
Rasulullah mengatakan, "Dan semua orang tidak mau
melakukannya ..." Kemudian Nabi agung yang lembut hati ini
meletakkan tangannya di atas pundak sang pemuda dan berdoa,
"Ya Allah, ampunilah dosanya, sucikan hatinya, dan jagalah
alat kelaminnya." Maka setelah itu si pemuda tidak lagi
menoleh kepada sesuatu (maksiat) (HR Ahmad dan Thabrani
dalam kitab al-Kabir. Para pensanadnya adalah sahih,
sebagaimana, juga dimuat dalam Majma' az-Zawaaid, I, hlm.
129).
Sikap dan perlakuan Rasulullah saw. kepada pemuda ini
disebabkan beliau berprasangka baik kepadanya. Ini karena
sesungguhnya kebaikan masih ada di dalam diri pemuda itu
tetapi kemudian kejahatan mendatangi jiwanya. Maka
Rasulullah saw. terus mengajaknya berdialog hingga dia
merasa puas dan pemikirannya menyadari bahwa zina adalah
perbuatan kotor dan keji. Kemudian hatinya pun menjadi
tenang dan menerima ketentuan tersebut dengan ikhlas.
Bersamaan dengan itu, Rasululllah saw. memanjatkan doa
untuknya.
Contoh lainnya, seorang wanita janda berzina dan akhirnya
hamil. Wanita ini datang kepada Rasulullah saw. untuk
menyucikan diri dengan memohon agar ia dihukum. Ia terus
memintanya hingga hukuman rajam dilaksanakan. Ketika mulai
dieksekusi Khalid bin Walid memakinya, Rasulullah saw.
menegurnya, "Wahai Khalid, apakah kau memakinya? Demi Allah,
dia benar-benar telah bertaubat, andaikan taubatnya
dibagikan kepada tujuh puluh rumah dari penduduk Madinah,
tentu akan mencukupi bagi mereka!" Apakah kau tahu,
seutama-utamanya manusia adalah wanita yang
bersungguh-sungguh terhadap dirinya demi Allah Azza wa
Jalla." (HR Muslim dan lainnya)
Berikut ini adalah contoh terakhir yang hendak penulis
paparkan. Pada zaman Rasulullah saw. ada seorang sahabat
yang gemar meminum khamar hingga kecanduan. Dia datang
kepada Rasulullah saw. sambil meminumnya lebih dari sekali.
Para sahabat yang lain bangkit emosinya dan memukuli si
peminum itu. Akan tetapi, kebiasaan buruknya itu kambuh
lagi. Ia menenggak khamar dan mendatangi Rasulullah saw. dan
dipukuli lagi oleh sahabat-sahabat yang lain. Begitu terus
menerus, sehingga salah seorang sahabat berkata, "Si peminum
itu telah mendatangi Rasulullah saw. Dengan apa yang
mudah-mudahan Allah melaknatinya. Betapa banyak dosa yang
dibawanya! "
Akan tetapi, Rasulullah saw. tidak tinggal diam atas
perlakuan para sahabat terhadap orang muslim itu, meskipun
ia telah melakukan dosa besar dan memperlihatkan
kecanduannya. Rasulullah saw. bersabda,
"Janganlah kau melaknatnya sebab dia mencintai Allah dan Rasul-Nya."
Dalam riwayat lain disebutkan,
"Janganlah kamu sekalian membantu setan pada saudaramu."
Nah, lihatlah bagaimana manusia termulia ini bersikap
lapang dan berbaik sangka terhadap manusia lain meskipun
terhadap orang yang telah berlumuran dosa. Rasulullah saw
merasakan kilatan kebaikan tersembunyi di dalam dada si
peminum itu, meskipun fenomena kejahatan telah menyelimuti
bagian luarnya, sehingga Rasulullah saw. menilainya sebagai
orang yang "mencintai Allah dan Rasul-Nya." Karenanya,
beliau melarang para sahabat melaknatnya, sebab sikap
semacam itu akan menciptakan jurang di antara pelaku dengan
saudara-saudaranya yang mukmin. Ia akan semakin jauh dari
komunitas orang beriman dan kaum mukminin pun akan semakin
jauh darinya. Berarti, seseorang telah mendekati setan lalu
setan pun mendekatinya. Inilah hikmahnya mengapa Rasulullah
saw. bersabda, "Janganlah kamu sekalian membantu setan pada
saudaramu," serta tidak memutus tali persaudaraan antara
pelaku dengan para sahabat meskipun ia telah berulang kali
melakukan maksiat. Ini karena prinsip utama Islam adalah
mengumpulkan mereka dengannya dan mengumpulkannya dengan
mereka.
Maka silakan Anda pelajari pandangan Rasulullah saw. yang
teramat dalam ini. Inilah pendidikan berkualitas tinggi dari
seorang Rasul, wahai orang-orang yang berprasangka buruk
terhadap orang banyak dan yang menjatuhkan
maksiat-maksiatnya dari hisab. Belajarlah dari kasus ini,
wahai orang-orang yang gemar menggelari saudaranya yang
berbuat maksiat sebagai kafir. Andaikan mereka mau memahami
dan merenungkan, tentu mereka akan tahu bahwa orang-orang
yang telah dicap kafir itu bukanlah orang yang telah keluar
dari agamanya sehingga harus dibunuh, melainkan orang yang
tidak mengetahui Islam yang harus didakwahi. Mungkin mereka
terjerumus dalam lembah maksiat karena pengaruh pergaulan
yang jahat serta lingkungan yang rusak atau mereka lupa
terhadap akhirat karena terlampau sibuk dengan urusan dunia.
Mereka harus dibangunkan dan diingatkan. Bukankah peringatan
itu sangat bermanfaat bagi kaum muslimin? Wallahu a'lam
bish-shawab.
Sumber: http://media.isnet.org/islam/Bangkit/Qardhawi6.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar