Hal yang membahagiakan, setelah keringatmu menderas, setelah ototmu
mengeras dan tenggorokanmu panas, tak ada yang memulihkannya kecuali
kemenangan. Kemenangan dari “tim” yang kau dukung.
Sejumlah uang yang kau tukar pada gol-gol juga pernah aku rasakan,
meneriaki “wasit goblok!” pun pernah kulakukan. aku juga sempat
merasakan pilu karena sebuah kekalahan.
Di sepak bola memang selalu soal menang-kalah atau seri. Tapi kau dan aku tahu, tak ada apresiasi layak kecuali kemenangan.
Di sepak bola memang selalu soal menang-kalah atau seri. Tapi kau dan aku tahu, tak ada apresiasi layak kecuali kemenangan.
Ya, seperti yg mereka cibir, kita “supporter” bola yang menggantungkan kebahagiaan pada sebuah tim. Mereka yang tidak tahu bahwa
tim adalah bagian dari diri kita. Gerakan-gerakan magis dari tribun
supporter sempat dianggap sebagai kode etik “gangster”. Tapi supporter
bukan gangster, supporter adalah elemen yang sangat potensial untuk
memajukan sepak bola, mungkin lebih luas lagi untuk kemasyarakatan.
Supporter mendukung team masing-masing sampai di titik rasa gengsi
dengan supporter lain, ditimpali dengan kekalahan team atau mungkin
karena sekelompok “supporter kematin sore” yang melemparkan kalimat
kasar pada kelompok lain dan memicu terjadinya permusuhan.
Bicara tentang supporter di Indonesia tak bisa lepas dari dua kubu
besar; Bonek dan The Jak. Bonek bergandengan dengan Viking Persib,
Laskar Sakera dll, sedang The Jak terkotak bersama Aremania, LA mania
dll.
Unik sekaligus ironis, tanpa harus bertemu bertanding
kelompok-kelompok supporter ini terlibat saling hujat dengan
umpatan-umpatan khas daerah masing-masing.
(Dan belakangan semakin menjadi, Suppoorter benar-benar dicap sebagai
gangster. Kelompok perusuh. Disetiap pertangdingan baik Persikota atau
Persita, Benteng mania dan Viola Extrim selalu terlibat tawuran
disekitar stadion, Bonek setiapkali bertandang ke Jawa Barat juga selalu
terlibat pelemparan rumah warga di daerah Lamongan dan Solo, begitupun
sebaliknya. Warga Lamongan dan Solo yang di dominasi pemuda (artinya
mereka juga supporter yang terwadah sebagai Pasoepati dan LA mania)
membalas dengan melempari kaca kereta)
(Terakhir, tercatat tidak sedikit
nyawa melayang dan yang paling “hot” adalah berita kerusuhan Bobotoh
Persib di Stadion Siliwangi Bandung.
Tapi kita tidak bisa mengurai masalah dengan kacamata kuno. Penugasan
ribuan personil Polisi juga termasuk cara kuno. Malah terakhir saya
dengar ada puluhan polisi melakukan perusakan markas sekaligus bentrok
dengan Suporter. Hal ini diketahui sebab Polisi melakukan perusakan
sedang menggunakan seragam lengkap)
(Polisi yang se-yogyanya bertugas mengamankan malah menjadi biang
masalah dan saya yakin jika ada supporter mengumpat petinggi PSSI atau
melemparkan botol ke arah wasit, BLI tak akan segan-segan menghukum
dengan denda ratusan juta rupiah, namun ketika wasit memberi keputusan
tidak adil belum pernah sekalipun wasit menerima hukuman, apalagi mau
memberi teguran pada puluhan Polisi tersebut.
Padahal setinggi apapun pangkat Polisi tak akan mampu menjinakkan
ribuan supporter. supporter hanya bergerak dari komando Sang Dirijen,
BUKAN POLISI!!)
Gerakkan atraktif dan nyanyian kreatif berasal dari dirijen, tak
pelak penilaian baik buruk puluhan ribu supporter tergantung dari
komando Sang Dirijen.
Tak perlu muluk-muluk berbicara tentang sosiologi keberadaan
supporter, menurut saya jalan keluar dari kerusuhan dan permusuhan
supporter bertumpu pada Sang Dirijen ini. Karena supporter berisi dari
anak-anak muda yang relatif mudah “diracuni”.
Bukankah ini kesempatan untuk menanamkan sportivitas dan menumbuhkan kreativitas dengan gerakan dan nyanyian yang tidak anarkis?
Bukankah ini kesempatan untuk menanamkan sportivitas dan menumbuhkan kreativitas dengan gerakan dan nyanyian yang tidak anarkis?
Bukankah saat di stadion, tim kita lebih butuh dukungan daripada hujatan pada supporter lain yang belum tentu mendengarkan?
Jadi, kubu-kubu dalam supporter di Indonesia dapat kita atasi dengan komando kreatif tak anarkis dari Dirijen.
Sepak Bola ada untuk bersaudara dalam kompetisi panjang, buat apa kita saling serang. bukankah akan lebih baik jika kita menjadi fanatik pada team sendiri daripada sibuk menghhujat kelompok lain yang akan semakin memperkeruh dan jika dibiarkan anarkisme sekecil apapun dalam supporter sepak bola pasti akan berdampak pada kehidupam di luar tribun.
Tdk bs di pungkiri.. Mungkin para supporter sepakbola bs pecah dan perang dengan “kera-kera ngalam” tanpa ada pertandingan.
Kepadamu, Para suporter fanatik, kita berharap, beri komando
pada supporter kalian tentang hal-hal yang kreatif, menghibur dan tidak
anarkis.
Terasa lebih baik jika setiap orang yang belum tentu suka bola melihat pertunjukan seni yang luar biasa kompak dari tribun supporter daripada mendengar kabar bentrok supporter yang semakin banyak cibiran keluar untuk supporter.
Terasa lebih baik jika setiap orang yang belum tentu suka bola melihat pertunjukan seni yang luar biasa kompak dari tribun supporter daripada mendengar kabar bentrok supporter yang semakin banyak cibiran keluar untuk supporter.
"Apa jadinya Italy tanpa Tifosi, terkenal darimana Spanyol tanpa
Barcelona, Unggul dari apa Inggris jika tidak punya Manchester United?"
Tim bersandar pada Suporter, Supporter bergerak dari Dirijen.. !!!
Gunakan baik-baik kedudukan mulia posisi dan team idola kalian, Bung !!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar