Adalah menjadi karakteristik khusus Islam bahwa setiap ada perintah
yang harus dikerjakan umatnya pasti telah ditentukan syari’atnya (tata
cara dan petunjuk pelaksanaannya). Maka tidak ada satu perintah pun
dalam berbagai aspek kehidupan ini, baik yang menyangkut ibadah secara
khusus seperti perintah shalat, puasa, haji, dan lain-lain, maupun yang
terkait dengan ibadah secara umum seperti perintah mengeluarkan infaq,
berbakti pada orang tua, berbuat baik kepada tetangga dan lain-lain,
kecuali telah ditentukan syari’atnya.
Begitu pula halnya dengan menikah. Ia merupakan perintah Allah SWT
untuk seluruh hamba-Nya tanpa kecuali dan telah menjadi sunnah
Rasul-Nya, maka sudah tentu ada syariaatnya. Persoalannya, kebanyakan
orang mengira bahwa syari’at pernikahan hanya mengatur hal-hal ritual
pernikahan seperti ijab qobul dan mahar, sedangkan masalah meminang
(khitbah), walimah (resepsi) dan serba-serbi menjalani hidup berumah
tangga dianggap tidak ada hubungannya dengan syari’at. Maka tidaklah
mengherankan jika kita menghadiri resepsi pernikahan seorang muslim dan
muslimah, kita tidak menemukan ciri atau karakteristik yang menunjukkan
bahwa yang sedang menikah adalah orang Islam karena tidak ada bedanya
dengan pernikahan orang di luar Islam.
Lantas, memangnya seperti apa menikah ala Islam itu? Untuk
membahasnya secara lengkap jelas tidak mungkin di sini, karena tema
seperti itu berarti membahas mulai dari anjuran menikah, ta’aruf
(perkenalan dua orang yang siap menikah), meminang, akad, resepsi
sampai pergaulan suami istri yang para ulama untuk menulisnya
memerlukan sebuah buku. Karena itu yang akan dibahas dalam tulisan ini
adalah mengenai mahar dan penyelenggaraan resepsi (walimah). Bukan
karena yang lain tidak penting, tetapi mengingat dalam dua hal inilah
kebanyakan masyarakat muslim kurang tepat dalam persepsi dan
pemahamannya.
Tentang Mahar
“Berikanlah mahar kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan …” (QS An-Nissaa :4).
Mahar merupakan pemberian seorang laki-laki kepada perempuan yang
dinikahinya, yang selanjutnya akan menjadi hak milik istri secara
penuh. Dalam praktiknya tidak ada batasan khusus mengenai besarnya
mahar dalam pernikahan. Rasulullah SAW sebagaimana disebutkan oleh Ibnu
Qoyyim dalam kitabnya Zaadul Maad, memberi mahar untuk istri-istrinya
sebanyak 12 uqiyah. Abu Salamah menceritakan, “Aku pernah bertanya
kepada A’isyah ra, “Berapakah mahar Nabi SAW untuk para istrinya?”
A’isyah menjawab, “Mahar beliau untuk para istrinya adalah sebanyak 12
uqiyah dan satu nasy.” Lalu A’isyah bertanya, “Tahukah kamu, berapa
satu uqiyah itu?” Aku menjawab, “tidak” A’isyah menjawab, “empat puluh
dirham.” A’isyah bertanya, “Tahukah kamu, berapa satu nasy itu?” Aku
menjawab, “tidak”. A’isyah menjawab, “Dua puluh dirham”. (HR. Muslim).
Umar bin Khattab berkata, “Aku tidak pernah mengetahui Rasulullah
SAW menikahi seorang pun dari istrinya dengan mahar kurang dari 12
uqiyah.” (HR. Tirmidzi).
Dalam kisah lain Rasulullah SAW menikahkan putrinya Fatimah dengan
Ali ra dengan mahar baju besi milik Ali. Diriwayatkan Ibnu Abbas,
“Setelah Ali menikahi Fatimah, Rasulullah SAW berkata kepadanya,
“Berikanlah sesuatu kepadanya.” Ali menjawab, “Aku tidak mempunyai
sesuatu pun.” Maka beliau bersabda, “Dimana baju besimu? Berikanlah
baju besimu itu kepadanya.” Maka Ali pun memberikan baju besinya kepada
Fatimah. (HR Abu Dawud dan Nasa’i).
Bahkan ketika seorang laki-laki tidak memiliki sesuatu berupa harta
yang dapat diberikan sebagai mahar, Rasulullah SAW tidak menolak untuk
menikahkannya dengan mahar beberapa surat dalam Al-Qur’an yang
dihafalnya. Dikisahkan ada seorang laki-laki yang meminta dinikahkan
oleh Rasulullah, tetapi ia tidak memiliki sesuatu pun sebagai mahar,
walaupun sebuah cincin dari besi. Kemudian beliau bertanya kepadanya,
“Apakah engkau menghafal Al-Qur’an?” Ia menjawab, “Ya, aku hafal surat
ini dan surat itu (ia menyebut beberapa surat dalam Al-Qur’an). “Maka
beliau bersabda, “Aku menikahkan engkau dengannya dengan mahar surat
Al-Qur’an yang engkau hafal itu!” (disarikan dari hadits yang sangat
panjang dalam Kitab Shahih Bukhari Jilid IV, hadits no. 1587).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa tidak ada batasan tentang bentuk dan
besarnya mahar, tetapi yang disunnahkan adalah mahar itu disesuaikan
dengan kemampuan pihak calon suami.
Tentang Walimah (Resepsi Pernikahan)
Walimah merupakan sunnah, diadakan dengan tujuan agar masyarakat
mengetahui pernikahan yang berlangsung sehingga tidak terjadi fitnah di
kemudian hari terhadap dua orang yang menikah tersebut. Sedangkan
mengenai tata cara penyelenggaraannya, syariat memberikan petunjuk
sebagai berikut:
Khutbah sebelum akad
Disunnahkan ada khutbah sebelum akad nikah yang berisi nasihat untuk calon pengantin agar menjalani hidup berumah tangga sesuai tuntunan agama.
Menyajikan hiburan
Walimah merupakan acara gembira, karena itu diperbolehkan menyajikan hiburan yang tidak menyimpang dari etika, sopan santun dan adab Islami.
Walimah merupakan acara gembira, karena itu diperbolehkan menyajikan hiburan yang tidak menyimpang dari etika, sopan santun dan adab Islami.
Jamuan resepsi (walimah)
Disunnahkan menjamu tamu yang hadir walaupun dengan makanan yang sederhana. (Dari Anas bin Malik ra bahwa Nabi SAW telah mengadakan walimah untuk Shofiyah istrinya dengan kurma, keju, susu, roti kering dan mentega).
Disunnahkan menjamu tamu yang hadir walaupun dengan makanan yang sederhana. (Dari Anas bin Malik ra bahwa Nabi SAW telah mengadakan walimah untuk Shofiyah istrinya dengan kurma, keju, susu, roti kering dan mentega).
Diriwayat lain, Rasulullah SAW bersabda kepada Abdurrahman bin Auf,
“Adakanlah walimah meski hanya dengan seekor kambing.” Sedangkan
mengenai batasan mengadakan walimah As-Syaukani dalam Nailul Authar
menyebutkan bahwa Al Qadhi Iyadh telah mengemukakan bahwa para ulama
sepakat tidak ada batasan khusus untuk walimah, meski diadakan dengan
yang paling sederhana sekalipun diperbolehkan. Yang disunnahkan adalah
bahwa acara itu diadakan sesuai dengan kemampuan suami.
Masih banyak pelajaran lain yang bisa dipetik berkaitan dengan acara
walimah ini, yang membuat kita sampai pada satu kesimpulan bahwa
menikah dengan cara Islam ternyata memang mudah, murah dan berkah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar