Sistem perekonomian
kapitalis atau produk baru para penjajah yang dilegalkan dan
dipergunakan saat ini, sangat memberatkan masyarakat kecil. Terlihat
dari tujuan instrument keuangan pemerintah yang tidak pernah bermuara
pada rakyat kecil.
Pengumpulan dana melalui SUN, SBI, Royalty tambang,
maupun yang diambil dari masyarakat secara langsung melalui pajak,
obligasi, reksadana, asuransi bahkan melalui tabungan, giro, atau
deposito mereka sendiri tidak pernah ditujukan kepada masyarakat kecil.
Jadi meskipun masyarakat kecil menjadi penyumbang dana terbesar, mulai
dari hasil kerja mereka untuk menghasilkan laba diperusahaan, gaji,
bahkan tabungan mereka sendiri, kaum kapitalis tetap memposisikan mereka
sebagai “sapi perah”-an.
Mengapa saya sebut
demikian, karena semua yang dihasilkan dan dititipkan masyarakat tidak
pernah dikembalikan lagi kemereka, misalnya dalam bentuk kredit mikro
berbunga rendah. Ilustrasinya sebagai berikut : dari penghasilan bersih,
masyarakat harus mengeluarkan pajak 5-20%, semua produk yang
dikonsumsi dikenai PPN 10 - 20%, jika masyarakat mengambil kredit, baik
KPR atau dana segar, bunga yang diberikan mulai dari 16-50% bahkan ada
yang mencapai 300% per tahun dengan birokrasi yang berbelit-belit,
sedangkan gaji yang mereka titipkan dibank hanya memiliki imbal hasil 2%
- 5% per tahun. Belum cukup sampai disana, bagi masyarakat kecil, mulai
dari yang penuh kesadaran, pengangguran, PHK dan pensiun, yang kemudian
berwiraswasta menjadi supplier industri, dana dengan bunga tinggi
tersebut dihisap lagi oleh koorporasi dengan membuat tenor pembayaran
antara 1-6 bulan. Alhasil, mereka dipaksa bermain kesektor retail,
tetapi satu-satunya harapan juga di lahap si kapitalis dengan mendirikan
pasar modern seperti Care****, Gia** atau dengan pola kemitraan seperti
Al** Mart dan In** Mart. Padahal, diwilayah perbatasan yang sepi
penduduk dan atau yang penuh tambang, berbagai hambatan seperti luas
wilayah dan minimnya infrastruktur termasuk transportasi, sector retail
sangat sulit di gapai, sedangkan emas, timah, kayu, dll terus dikeruk.
Hal ini tentu saja menimbulkan kecemburuan social yang parah dan
terlihat dari gerakan-gerakan untuk melepaskan diri dari NKRI, seperti
GAM, dan OPM.
Sebaliknya, koorporasi
terus menerus meneguk keuntungan berlapis-lapis. Ilustrasinya, jika
mereka menempatkan dananya dalam bentuk obligasi, reksa dana, deposito,
SUN dan SBI yang diperoleh dari laba kotor perusahaan (termasuk gaji
pegawai, pph pegawai, ppn, cukai, royalty, dividen) justru diberikan
imbal hasil / bunga yang tinggi 9-11%, hadiah jaguar, rumah mewah, dll.
Sedangkan bila mereka memperoleh kredit, para bank-bank besar juga
memanjakan mereka dengan bunga rendah 6-15% dan hadiah-hadiah seperti
mobil, rumah, dll. Belum cukup sampai disana, para kapitalis tahu betul
bahwa investasi jangka panjang seperti jalan, bandara, pelabuhan dan
lain-lain, memerlukan waktu pinjaman yang cukup panjang pula. Sehingga
secara otomatis, ketergantungan atas hutang jangka panjang, untuk
menutup deficit APBN atas investasi tersebut tidak terelakkan. Disisi
lain, prilaku pejabat pemerintah dan koorporasi bukannya meringankan
beban masyarakat, malah memperkeruh suasana dengan melakukan korupsi
melalui berbagai cara. Diantaranya adalah membuat proyek fiktif,
duplikasi proyek, sogok-menyogok, menerbitkan reksadana fiktif (bank
century > 1 triliun), commercial paper fiktif, atau menempatkan uang
kas daerah kedalam deposito, SBI dan instrument keuangan lain dengan
salah satu dalihnya, “pembayaran ke supplier masih belum jatuh tempo”.
Itulah sebabnya
mengapa kita sulit keluar dari penjajahan dan selamanya menjadi Negara
“Terbelakang” yang dihuni oleh para “Kanibal”. Para “kanibal” kerah
putih ini memakai tenaga “Sapi”-nya untuk membajak sawahnya (industry),
memerah “Susu”-nya melalui pajak, dan memakan “Daging”-nya melalui
bunga dan dilegalkan melalui bentuk undang-undang.
Jadi “Rakyat” yang manakah yang dimaksud
selama ini? karena sistem ekonomi kapitalis yang secara terang-terangan
telah membunuh jutaan jiwa secara perlahan tidak pernah diperangi.
Mungkinkah bank syariah jawabannya? menurut saya, tidak.
Sumber: http://umum.kompasiana.com/2009/09/04/kapitalis-adalah-teroris-yang-sebenarnya-11109.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar